HIKMAH

Top of FormKEPADA ADAM...

Adam,
Maafkan aku jika coretan ini memanaskan hatimu. Sesungguhnya aku adalah hawa,temanmu yang kau pinta semasa kesunyian disyurga dahulu. Aku asalnya dari tulang rusukmu yang bengkok. Jadi,tidak heranlah jika perjalanan hidupku sentiasa inginkan bimbingan darimu.

Adam,
Maha suci Allah yang mentakdirkan kaumku lebih ramai bilangannya dari kaummu dikala akhir zaman ini. Itulah sebenarnya ketelitian Allah dalam urusannya, karena andainya Allah mentakdirkan bilangan kaummu mengatasi kaumku niscaya merahlah dunia ini dengan darah manusia. Kacau beliaulah suasana Adam sesama Adam bermusuhan hanya karena Hawa.

Buktinya cukup nyata dari peristiwa Habil dan Qabil. Sehinggalah pada zaman cucu-cicitnya juga. Jika begitu maka tidak selaraslah undang-undang Allah Yang mengharuskan adam beristeri lebih dari satu tetapi tidak melebihi empat orang dalam satu masa.

Adam,
Bukan karena banyaknya isterimu membimbangkan daku. Bukan karena sedikitnya bilanganmu memunsingkanku. Tetapi aku risau,gundah dan gulana menyaksikan tingkahmu. Sejak dahulu telah kuketahui bahwa seharusnya aku tunduk tatkala telah menjadi isterimu. Patutlah terlalu berat lidahku berbicara untuk menyatakan isi hati ini. Namun sebagai hamba Allah, Aku sayang padamu.

Adam,
Sebagaimana didalam Al-Quran telah menyatakan yang engkau diberi kuasa terhadap wanita. Kau diberi amanah mendidikku. Kau diberi tanggungjawab untuk menjagaku,memperhatikan dan mengawasiku agar redha Allah sentiasa menaungi. Tetapi Duhai Adam, lihatlah dunia kini.
Apa yang telah terjadi terhadap kaumku?

Kini, Aku dan kaumku telah ramai yang mendurhakaimu. Banyak yang telah menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan. Asalnya Allah mengkehendaki aku tinggal tetap dirumah. Dijalan-jalan,dipasar,di bandar-bandar bukanlah tempatku. Jika terpaksa,aku keluar dari rumah seluruh tubuhku ditutup dari ujung rambut sehingga keujung kaki. Tapi realitanya kini, aku telah lebih dari yang sepatutnya.

Adam,
Mengapa kau biarkan daku begini? Selayaknya aku ibu dan guru kepada anak-anakmu. Tetapi kini, aku jadi ibu,guru dan aku jugalah yang memikul senjata. Padahal engkau duduk saja. Ada diantara kau yang menganggur tidak bekerja. Kau perhatikan saja aku naik tangga bambu. Apakah kau sekarang tidak seperti dahulu? Apakah sudah hilang kasih sucimu kepadaku?

Adam,
Marahkah kau jika ku katakan terpesoknya hawa sekarang engkaulah yang harus dipersalahkan! Kenapa kau? Bukankah orang sering bicara, Jika anak jahat maka ibu bapak yang tidak pandai mendidik, Jika murid bodoh,guru tidak pandai mengajar. Jadi secara formulanya, Aku binasa,kaulah penyebabnya!!!

Adam,
Kau selalu mengatakan, Hawa memang degil! Tidak mau dengar kata! Tidak mudah makan nasehat! Kepala batu! Tetapi duhai Adam, Seharusnya kau bertanya kepada dirimu, Siapakah teladanmu? Siapakah rujukanmu? Dalam mendidik aku yang lemah ini. Adakah teladanmu Muhammad s.a.w? Adakah rujukanmu Muhammad s.a.w? Adakah akhlak-akhlakmu boleh dijadikan contoh buat kami kaum Hawa?


Adam,

Sebenarnya kaulah imam dan aku adalah makmummu. Aku adalah pengikutmu-pengikutmu Karena kaulah amir. Jika kau benar maka benarlah aku. Jika kau lalai,lalailah aku. Lupakah kau duhai Adam? Kau punya satu kelebihan anugerah Tuhan. Akalmu sembilan, nafsumu satu. Dan aku, akalku satu nafsuku beribu! Dari itu Adam,gunakanlah ketinggian akalmu untuk membimbingku.

Pimpinlah tanganku karena aku sering lupa dan lalai. Seringkali aku tergelincir. Bimbing dan bantulah aku dalam menyelami kalimah Allah. Perdengarkanlah aku kalimah syahdu dari TuhanMu agar duniaku sentiasa dijalan rahmah. Tiupkanlah roh jihad ke dalam dadaku agar aku mampu tetap menjadi mujahidah kekasih Allah.

Adam,
Andainya kau masih lalai karenamu sendiri. Masih segan mengikut langkah para sahabat baginda. Masih gentar mencegah mungkar. Maka kita tunggu dan lihatlah dunia ini akan hancur bila aku yang memerintah. Malulah engkau Adam. Malulah engkau pada dirimu sendiri. Wallahualam.

sumber : iluvislam.com







IJINKAN AKU YA ALLAH
Ya Allah......
Bila hamba bertemu dengan seseorang
dan hamba jatuh cinta
Izinkanlah hamba menjadi yang terbaik baginya
dan dia yang terbaik bagi hamba

Ya Allah......
Bila Hamba menjadi suami seseorang
Izinkanlah diri hamba menjadi pelindung baginya
izinkanlah wajah hamba menjadi kesenangan baginya
izinkanlah mata hamba menjadi keteduhan baginya
izinkanlah pundak hamba menjadi tempat melepas keresahan baginya
izinkanlah setiap perkataan hamba menjadi kesejukan baginya

Ya Allah......
Izinkanlah setiap pelukan menjadi jalan untuk lebih mendekat kepadaMu
izinkanlah setiap sentuhan menjadi perekat cinta kepadaMu
izinkanlah setiap pertemuan menjadikan kami bersyukur kepadaMu

Ya Allah......
izinkanlah hati yang sangat halus ini tidak pernah merasa tersakiti
izinlanlah hati yang rentan ini tidak pernah merasa terkhianati

Ya Allah......
jiwa kami ada dalam genggamanMu
maka izinkanlah jiwa kami selalu bertaut dalam cintaMu

Ya Allah......
permintaan terakhirku, semoga kami berdua selalu berada dalam perlindunganMu
Top of Form

"Semoga Allah menghimpun yang terserak dari keduanya, memberkahi mereka berdua dan kiranya Allah meningkatkan kualitas keturunan mereka, menjadikannya pembuka pintu rahmat, sumber ilmu dan hikmah serta pemberi rasa aman bagi ummat".

(Do’a Rasulullah SAW pd pernikahan putrinya, Fatimah Az Zahro & Ali Bin Abi Thalib) 





LAMARANMU KU TOLAK

Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya.
Melalui ta’aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk
melanjutkannya menuju khitbah.
Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan.
Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru
pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang
sekarang amatlah berbeda.
Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka
menggenapkan agamanya.
Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang
lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk ‘merebut’
sang perempuan muda, dari sisinya.
“Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?” tanya sang setengah baya.
“Iya, Pak,” jawab sang muda.
“Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? ” tanya sang setengah baya
sambil menunjuk si perempuan.
“Ya Pak, sangat mengenalnya, ” jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
“Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak
bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model
seperti itu!” balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal
sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”
“Lamaranmu kutolak. Itu serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku
takmau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya.
Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya,
keras.
Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang
lelaki muda. Bisiknya, “Ayah, dia dulu aktivis lho.”
“Kamu dulu aktivis ya?” tanya sang setengah baya.
“Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di
Kampus,” jawab sang muda, percaya diri.
“Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama
istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo
rumahku ini kan?”
“Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak
yang nggak datang kalau saya suruh berangkat.”
“Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok
mau ngatur keluargamu?”
Sang perempuan membisik lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho.”
“Kamu lulusan mana?”
“Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus
terbaik di Indonesia lho Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM
ini tho? Menganggap saya bodoh kan?”
“Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya
saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak.”
“Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik
anak-anakmu kelak?”
Bisikan itu datang lagi, “Ayah dia sudah bekerja lho.”
“Jadi kamu sudah bekerja?”
“Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera
jualan produk saya Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu
nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu.”
“Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak
terlalu laku.”
“Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu,
kalau kerja saja nggak becus begitu?”
Bisikan kembali, “Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya.”
“Rencananya maharmu apa?”
“Seperangkat alat shalat Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf.”
“Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan
uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku.”
Bisikan, “Dia jago IT lho Pak”
“Kamu bisa apa itu, internet?”
“Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak
saya nge-net.”
“Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan
anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata.”
“Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter,
Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu.”
Bisikan, “Tapi Ayah…”
“Kamu kesini tadi naik apa?”
“Mobil Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya
Riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”
“Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir”
“Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini
namanya payah. Memangnya anakku supir?”
Bisikan, “Ayahh..”
“Kamu merasa ganteng ya?”
“Nggak Pak. Biasa saja kok”
“Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang
cantik ini.”
“Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!”
Sang perempuan kini berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah engkau tanyakan
soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?”
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang
muda yang sudah menyerah pasrah.
“Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?”
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.
Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, “Pak, dari tiga puluh
juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja.
Hadits-pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula.”
Sang setengah baya tersenyum, “Lamaranmu kuterima anak muda. Itu
cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja
pun, aku masih tertatih.”
Mata sang muda ikut berkaca-kaca.
Ini harus happy ending, bukan?





HATI YANG SELALU TERSENYUM

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok manusia yang sempurna. Di medan perang beliau adalah seorang jenderal profesional yang menguasai taktik dan strategi bertempur. Di tengah masyarakat, beliau adalah teman, sahabat, guru, dan sosok pemimpin yang menyenangkan. Di rumah, beliau adalah seorang kepala rumah tangga yang bisa mendatangkan rasa aman, kasih sayang, sekaligus kebahagiaan.
Beliau adalah sosok yang romantis. Beliau biasa memanggil istrinya, ‘Aisyah, dengan panggilan yang indah: Ya Humaira (wahai si merah jambu). Wanita mana yang tidak tersanjung saat dipanggil suaminya dengan panggilan ini? Telinga siapa yang tidak ingin mendengar sapaan seperti ini?

Tapi keindahan itu tercipta bukan karena beliau ahli merayu, melainkan karena hati beliau memang bersih, bening, dan indah. Dari hati yang indah itulah keluar kata-kata, perilaku, dan sikap yang indah. Dari keindahan hati itulah terpancar segala keindahan dari setiap yang dipandang dan ditemuinya.
Memang, betapa indah hari-hari kehidupan di mata Rasulullah. Romantisme tidak hanya berlaku bagi istri-istrinya, juga anak-anak, bahkan nenek-nenek dan semua makhluk Allah Subhanahu wa Ta`ala lainnya pun merasakannya.

Begitu dekatnya Rasulullah dengan unsur-unsur di alam sekitar. Setiap berhadapan dengannya beliau kerap menyapanya dengan ungkapan: Rabbiy wa Rabbukallaah (Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah).
Ketika melihat sekuntum bunga yang mulai terbuka kelopaknya, kalbunya bergetar, hatinya bersuka cita, dan segera beliau mendatanginya, mencium dengan bibirnya, dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Tak lupa beliau mengucapkan: ‘aamu khairin wa barakatin insya Allah (tahun baik dan penuh berkah, insya Allah).

Demikian pula ketika beliau mendapati bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya, tak lupa menyambutnya dengan sukacita. Dengan penuh optimis beliau bercakap tentangnya: hilaalu khairin wa baarakatin insya Allah (awal bulan yang baik dan penuh berkah, insya Allah).
Setelah menyambut dengan tahniah (ungkapan kegembiraan), beliau juga tak lupa berdoa: Allahumma ahillahu ‘alaina bilyumni wal iimaani wassaalamati wal islaami (Ya Allah, jadikan permulaan bulan ini membawa keuntungan, iman, keselamatan, dan Islam).

Apa bedanya bulan yang ditatap Rasulullah empat belas abad yang lampau dengan bulan yang kita lihat setiap malam? Bukan bulannya yang beda, tapi cara pandangnya yang berbeda. Rasulullah memandangnya dengan cahaya iman, sedang kita mungkin memandangnya dengan hati yang masih ragu. Rasulullah melihat di balik bulan ada kebesaran Allah, sedang kita melihat bulan tidak lebih dari sekadar materi. Beliau melihat bulan dari perspektif waktu yang akan datang (dengan visi), sedang kita melihatnya sakadar dengan “menghitung hari”.
Melalui tulisan ini, saya mengajak seluruh aktivis Hidayatullah dan segenap pendukungnya, mari kita tatap dunia ini dengan senyum, sebagai pertanda bahwa kita bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, karena bulan dan matahari masih dipergilirkan, siang dan malam masih terus berputar. Ada waktu untuk berbuat dan beramal.

Mari kita tatap masa depan dengan penuh harapan. Tak usah berkecil hati, sekalipun tantangan sebesar dan sebahaya Gunung Merapi. Kita masih punya Tuhan, pemilik dan penguasa alam semesta. Di tangan-Nya tergenggam seluruh nyawa, sekaligus kehendak-Nya. Sekali diputar, semuanya akan berubah.
Tersenyumlah, sebagaimana Rasulullah tersenyum ketika menyapa matahari terbit setiap pagi, dan bulan yang mengorbit setiap malam. Tersenyumlah dan sapalah istri dengan sukacita sebagaimana beliau selalu melahirkan kebahagiaan kepada keluarga dan sesama manusia.*




MUSIBAH ITU INDAH

Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama dengan kesabaran, keleluasaan itu bersama dengan adanya kegelisahan, sedangkan kemudahan itu bersama dengan kesulitan. (Riwayat Tirmidzi)
Musibah adalah hilangnya sesuatu yang kita sayangi, seperti kekayaan, rumah tinggal, kendaraan, atau pekerjaan. Bisa juga berupa hilangnya orang yang dicintai, seperti kematian ayah, ibu, atau anak. Bisa juga berupa hilangnya kesehatan, jabatan, kehormatan, dan harga diri.
Sebagaimana sifatnya dunia, semua yang ada di atas bumi adalah fana. Hanya sementara! Tak ada yang abadi. Orang-orang yang kita cintai suatu saat pasti akan mati meninggalkan kita, atau justru sebaliknya, kita yang meninggalkan mereka terlebih dahulu. Ini adalah musibah yang tidak bisa dihindari.
Kehilangan pekerjaan, jabatan, atau harta benda, bisa menimpa siapa saja dan terjadi kapan saja. Tidak seorangpun yang hidup di dunia ini bisa menghindarinya. Kalau hari ini selamat dari musibah, mungkin besok atau lusa tidak. Kalau hari ini yang tertimpa musibah adalah teman kita, mungkin besok atau lusa adalah giliran kita.
ULAH MANUSIA SENDIRI
Jika mau dievalusi secara jujur, tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya musibah datang karena kesalahan kita sendiri. Kesalahan berupa tidak mengindahkan aturan dan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT), baik yang bersifat alamiah dan sosial (kauniyah) maupun hukum al-Qur`an (qauliyah). Firman Allah SWT:

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ (٤١
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Ar-Rum [30]: 41)

Namun, ketika musibah itu terjadi sesungguhnya ada hakikat yang seringkali tidak dilalaikan manusia, yakni: 

1. Musibah Merupakan Ujian dari Allah SWT
Kehidupan ini sesungguhnya merupakan proses ujian bagi manusia, untuk membuktikan siapa yang beriman kepada Allah SWT dan siapa yang mendustakan-Nya. Firman Allah SWT: 

وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ‌ۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ (٣
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (Al-Ankabut [29]: 3)

2. Musibah Merupakan Azab dari Allah SWT
Boleh jadi musibah juga merupakan azab yang diberikan kepada manusia sebagai akibat dari kedurhakaan, kemaksiatan, serta dosa-dosa yang diperbuat. Sehingga ia berfungsi sebagai teguran untuk menyadarkan dan memperbaiki langkah kehidupan manusia sendiri agar kembali ke jalan yang benar.

وَلَنُذِيقَنَّهُم مِّنَ ٱلۡعَذَابِ ٱلۡأَدۡنَىٰ دُونَ ٱلۡعَذَابِ ٱلۡأَكۡبَرِ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ (٢١
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (As-Sajdah [32]: 21)

Jangan Ditolak

Kita tidak bisa menolak musibah, sebab ia bersifat alamiah. Kehancuran, kemusnahan, dan kefanaan adalah sifat dasar alam dunia, sedang kita hidup di dalamnya. Itulah sebabnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) pernah berwasiat, ”Isy maa syi’ta fa innaka mayyitun, wa ahbib man ahbabta fa innaka mufaraqatun (hiduplah sesuakamu, tapi ingatlah bahwa kalian akan mati, dan cintailah orang yang kamu cintai, tapi ketahuilah bahwa nanti kalian akan berpisah).”

Terhadap musibah, kita tidak bisa menghindar. Yang penting bagi kita adalah, bagaimana menyikapinya. Dua orang yang menghadapi musibah yang sama, tapi reaksinya bisa berlainan. Yang satu bersabar dan ikhlas menerimanya, sedang yang kedua menerimanya dengan penuh penderitaan. Di sini, kita harus bisa membedakan antara musibah dengan derita.

Musibah adalah realitas obyektif, di luar diri kita. Sedangkan derita adalah realitas subyektif, pictures in our head (gambaran di dalam pikiran kita). Musibah adalah sesuatu yang terjadi di luar kendali kita, sedangkan derita terletak pada pilihan kita sendiri.

Dengan demikian, menjadi tidak aneh jika ada orang yang menderita luar biasa setelah mendapatkan musibah, walau tak seberapa. Akan tetapi ada orang yang biasa saja, bahkan menjadi bahagia meskipun tertimpa musibah yang berat. Kesimpulannya, cara menyikapi musibah itulah yang menjadikan orang tetap bahagia atau menderita. Cara menyikapi itulah yang menjadi pilihan kita.

Rahmah di Balik Musibah

Seorang Muslim tidak boleh tenggelam dalam kesedihan yang berlama-lama. Boleh bersedih hati tapi tidak boleh menderita. Orang yang menderita berarti mendapat kerugian dua kali. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga lagi.

Bagi orang yang beriman, musibah adalah ujian. Bagi yang telah mempersiapkan diri baik-baik, maka musibah itu akan dihadapi dengan tenang. Akibat ketenangannya, ia bisa lulus ujian, lalu naik kelas atau naik tingkat, dan naik pula derajatnya. Di sisi manusia dia menjadi lebih mulia, sedang di sisi Allah SWT akan mendapatkan pahala.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak siap menghadapi ujian akan bersikap menentang. Jangankan lulus ujian, mereka bahkan akan dihadapkan pada sanksi dan hukuman. Di mata manusia, mereka menjadi hina. Di mata Allah SWT, orang yang demikian pantas mendapatkan siksa.
Allah Maha Adil, di balik setiap musibah ada hikmah bagi orang-orang yang meyakininya. Rasulullah SAW bersabda:

Seorang Muslim yang tertimpa suatu kesakitan, baik itu tertusuk duri atau lebih dari itu, niscaya Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya dan menghapuskan dosa-dosanya, sebagaimana daun-daun berguguran dari pohonnya. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Orang-orang yang cerdas akan mengubah musibah menjadi rahmat, sedang orang yang bodoh mengubah musibah menjadi dua kali bencana. Rasulullah SAW dapat berkuasa, memimpin, dan membangun Madinah setelah diusir oleh kaumnya dari tanah kelahirannya, Makkah. Imam Ahmad bin Hambal menjadi imam dan pemimpin ahlus-sunnah setelah dipenjara dan didera hukuman oleh penguasa pada zamannya. Demikian juga Ibnu Taimiyah, ia menjadi ilmuwan agung, menulis kitab fatawa berjilid-jilid, setelah dipenjara.

Begitu pula Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS) mendapat gelar khalilullah (kekasih Allah) setelah dibakar hidup-hidup oleh Namrudz. Nabi Nuh AS dapat memimpin bangsanya setelah tanah airnya ditenggelamkan bersama isteri dan anaknya. Demikian juga Nabi Yusuf AS, Nabi Ayyub AS, dan nabi-nabi lainnya.
Ketahuilah, Allah SWT tidak akan pernah mengambil dari diri kita kecuali Dia telah menyiapkan penggantinya yang lebih baik bagi kita, asal kita bersabar, ikhlas, dan tawakal menerimanya. Firman Allah SWT:

أُوْلَـٰٓٮِٕكَ عَلَيۡہِمۡ صَلَوَٲتٌ۬ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٌ۬‌ۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ (١٥٧

Mereka itulah yang akan mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah [2]: 157)
Inilah kabar gembira dari Allah untuk orang-orang yang tertimpa musibah. Jangan takut, jangan sedih, jangan putus asa.
إِنَّهُ ۥ لَا يَاْيۡـَٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَـٰفِرُونَ (٨٧

Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir. (Yusuf [12]: 87)

قَالَ وَمَن يَقۡنَطُ مِن رَّحۡمَةِ رَبِّهِۦۤ إِلَّا ٱلضَّآلُّونَ (٥٦

Ibrahim berkata: Tiada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, melainkan orang-orang yang sesat. (Al-Hijr [15]: 56) 

Harga sukses itu mahal. Lihatlah, perhatikanlah, dan telusuri riwayat hidup orang-orang sukses. Mereka semua adalah orang-orang yang lulus menghadapi musibah. Semakin besar musibah yang ditimpakan kepadanya, semakin besar pula nilai kesuksesannya.

Subhanallah, orang yang beriman akan tersenyum manakala mendapatkan musibah. Mereka tidak marah dan tidak bosan menghadapinya, sebab mereka yakin bahwa di balik kesulitan yang dihadapinya saat ini pasti ada kebaikannya. 

Itulah yang dialami Nabi Yusuf AS, seperti dipaparkan dalam Surah Yusuf, ia mengalami musibah demi musibah. Ketika masih remaja, oleh kakak-kakaknya dimasukkan dalam sumur hampir meninggal dunia. Ketika mulia meniti karir dijebloskan dalam penjara. Tapi justru karena kesabaran dan keikhlasannya, Nabi Yusuf AS akhirnya hidup di istana dengan jabatan yang luar biasa. 

Melihat semua fakta nyata di atas, lalu apa yang menghalangi kita untuk tetap tersenyum ketika menghadapi musibah? Wallahu a’lam bish shawab.

dr suara hidayatullah




HATI YANG BERSIH

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Akhir-akhir ini saya banyak membaca buku sufi, ternyata saya baru tahu bahwa penyucian hati atau tazkiyatun-nufus merupakan perkara besar dalam Islam. Apalah artinya beramal saleh, jika hati kita masih kotor, penuh dengan sifat-sifat buruk? Semua amalan bisa rusak seketika, bahkan bisa hilang tanpa bekas, jika ternyata masih ada riya’ dalam diri.

Melalui rubrik ini, saya ingin bertanya kepada Ustadz tentang indikasi hati yang bersih, mudah-mudahan dengan jawaban tersebut saya bisa mengoreksi sejauh mana kondisi hati saya saat ini. Terima kasih atas jawaban Ustadz.

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh 

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, kami ingin meluruskan pernyataan Saudara tentang amal saleh. Menurut kami, amal saleh itu adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh orang yang baik karena niat dan motivasi yang baik dan benar. Suatu perbuatan yang tidak dilandasi oleh niat dan landasan akidah yang benar, menurut kami bukan termasuk amal saleh. Dengan pengertian seperti ini, maka amal saleh itu tetap berguna kapan dan di manapun juga. Tidak ada amal saleh yang sia-sia.

Tentang hati, Imam Al-Ghazali membagi menjadi tiga jenis, yaitu: hati yang mati, hati yang sakit, dan hati yang sehat. Hati sakit adalah hatinya orang-orang kafir yang telah menutup diri dari kebenaran. Satu-satunya cara menghidupkan hati yang mati adalah dengan membuka tutup yang selama ini telah menutupi dan melindunginya dari hidayah.

Hati yang sakit adalah hatinya orang-orang mukmin yang terserang satu atau lebih penyakit jiwa, seperti hasad, riya’, ujub, dan takabbur. Penyakit hati itu bisa disembuhkan dengan “Tazkiyatun-nufus”, membersihkan hati. Setiap Muslim wajib mendiagnosa penyakit hatinya, kemudian dengan sungguh-sungguh mengobatinya agar hatinya sehat dan selamat.

Hati yang sehat adalah hatinya orang beriman yang lapang dan terbebas dari segala bentuk penyakit hati. Orang-orang yang hatinya sehat merasakan kelapangan dan kemudahan hidup. Hatinya tenang karena menerima qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terhindar dari rakus dan iri hati. Jauh dari rendah diri dan tinggi hati. Sebaliknya, mereka tampak tawadhu dan optimis. Selalu bahagia, tidak mengeluh. Selalu bersikap positif, tidak curiga, dan buruk sangka, terutama kepada Allah. Senantiasa bersyukur menghadapi nikmat dan bersabar ketika mendapati musibah.

Hati yang sehat adalah hati yang bebas dari noda syirik hingga sekecil kecilnya dan seremeh-remehnya. Berserah diri kepada-Nya dengan segenap keyakinannya. Mengimani ke-Ilahiyan- Nya beserta nama-nama dan sifat-sifat- Nya.
Hati yang sehat adalah hati orang beriman yang beribadah kepada Allah dengan sukarela, rasa cinta, tawakkal, khusyu, khudhu’ (merendah), dan raja’ (penuh harap), sambil mengikhlaskan amalnya semata-mata karena Allah Ta’ala.

Hati yang sehat adalah hati yang menerima perintah dan larangan Allah dengan penuh ketundukan dan keridhaan. Bila disebut nama Allah, maka bergetarlah hatinya. Bila dibaca ayat-ayat Allah, maka bertambahlah imannya.

Hanya orang-orang yang hatinya sehat saja yang nantinya bakal dipanggil Allah masuk ke dalam golongan hamba-hamba- Nya, dan masuk ke dalam surga-Nya:

يَـٰٓأَيَّتُہَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَٮِٕنَّةُ (٢٧) ٱرۡجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً۬ مَّرۡضِيَّةً۬ (٢٨)
فَٱدۡخُلِى فِى عِبَـٰدِى (٢٩)  وَٱدۡخُلِى جَنَّتِى (٣٠)

” Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba- Ku, Masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al-Fajr [89]: 27 – 30)

Hanya dengan hati yang sehat saja, kita akan selamat menempuh perjalanan akhirat menuju Allah. Ketika harta, keluarga, dan kolega tidak ada manfaat dan gunanya, maka hati yang sehat saja yang nanti akan berguna. Allah berfirman: 

يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ۬ وَلَا بَنُونَ (٨٨)  إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٍ۬ سَلِيمٍ۬ (٨٩)
”Yaitu di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah denagn hati yang sehat (Qalbun Salim)” (Asyu’ara [26]: 88 – 89).*

dr: suara hidayatullah+tambahan



 

AKHLAK

“Orang mukmin yang paling sempurna imanya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR.Abu dawud, Ahmad dan At-tirmidzi).
“Penyebab utama masuknya manusia ke surga adalah bertakwa kepada allah dan kebaikan akhlaknya.” (HR.At-tirmidzi dan ibnu majah).
“Sesungguhnya orang yang aku cintai dan paling dekat tempat duduknya dari pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. At-tirmidzi).
“Saya menjamin sebuah rumah yang paling tinggi tingkatanya di surga bagi orang yang berbudi pekerti.” (HR. Al-Haitsami).
“Sesungguhnya orang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan mendapatkan kedudukan yang sama dengan orang yang (rajin) melaksanakan puasa dan shalat malam.” (HR. Abu Dawud).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Aku menjamin sebuah rumah ditepian surga bagi siapa yang meninggalkan pertengkaran meskipun berada dipihak yang benar dan sebuah rumah ditengah surga bagi siapa yang meninggalkan dusta meskipun dalam bercanda, serta sebuah rumah disurga yang paling tinggi bagi siapa yang membaikkan akhlaknya."(HR. Abu Daud)