Daun itu akhirnya luruh setelah angin
tak henti-hentinya menggoyangkan dahan tempatnya bernaung. Syaira menatapnya
dengan miris, “ Begitukah aku saat ini? Seperti daun itu yang akhirnya melayang
jatuh ketanah”. Syaira menghembuskan nafas dan melihat sekeliling. Sudah lebih
dari dua jam dia ditempat ini, tempat yang menjadi favoritnya. Sebuah taman
disudut kota, tempat dia tinggal sekarang.
Taman itu ditumbuhi bunga beraneka warna, juga rindang dengan pepohonan yang menyejukkan. “Akhirnya aku disini….sendiri, sepi dan mencoba menata kepingan hati yang hancur. Entah bisa utuh kembali atau makin terpuruk dan semakin jatuh. Ibarat cermin retak yang walaupun dicoba direkatkan, tetap saja ada garisnya”. Gumamnya dihati sambil menatap langit.
Taman itu ditumbuhi bunga beraneka warna, juga rindang dengan pepohonan yang menyejukkan. “Akhirnya aku disini….sendiri, sepi dan mencoba menata kepingan hati yang hancur. Entah bisa utuh kembali atau makin terpuruk dan semakin jatuh. Ibarat cermin retak yang walaupun dicoba direkatkan, tetap saja ada garisnya”. Gumamnya dihati sambil menatap langit.
Syaira menutup buku yang dari tadi
satu barispun belum dia baca. Pikirannya melayang mengingat kenangan pahit yang
coba dia hilangkan tapi, tak bisa. Sampai saat ini dia tak habis pikir mengapa
semua ini terjadi dalam hidupnya. Apa ini takdir dan jalan hidup yang
digariskan Sang Maha Kuasa? Huff…lagi-lagi Syaira menghela nafas
“ Sepertinya ini sudah kali kesepuluh
aku melihat kau menghela nafas”, Sebuah suara menyelinap keruang dengarnya dan
menyentak lamunannya. Syaira menoleh ke samping kanan. Sepasang kaki terbungkus
sepatu olahraga berdiri tak jauh dari duduknya. Terlihat wajah yang berkeringat
dengan sorot mata yang jenaka dibalik kacamata bingkai pink, sangat kontras
dengan warna baju yang kuning benderang. Kerudung putihnya sedikit basah.
Syaira melirik sebal dengan usikan si penganggu itu. Dia beranjak pergi
meninggalkan tempat itu. Tapi dia merasa ada seseorang yang mengikuti
langkahnya. Syaira berbalik kebelakang dan lagi lagi wajah yang sedang
tersenyum dengan kaca mata pink yang sangat kontras itu. “Kenapa kau
mengikutiku?’ “ Aku hanya ingin berkenalan denganmu, bolehkan? Lagian aku dari
tadi lihat wajahmu yang cemberut aja, kamu lagi ada masalah ya?. “ Apa
urusanmu? Tukas Syaira dengan ketus.
“ Jangan marah dong. Aku hanya ingin berkenalan
denganmu, syukur syukur kamu mau berteman denganku. kamu tinggal di jalan
Anggrek kan? Dirumahnya Tante Lies kan? Aku Afifa. Panggil aja ifa aku tinggal
di jalan Melur, seberang jalan anggrek”. Ujar cewek itu sambil mengulurkan
tangan mengajak Syaira berkenalan. Dengan setengah hati Syaira membalas jabatan
tangan Afifa dan menyebutkan namanya. Afifa dengan serta merta mengajaknya
berjalan. Sepanjang perjalanan, bibir Afifa tidak berhenti berceloteh, ada saja
yang dibicarakan terutama hal-hal yang lucu. Dan mau tidak mau Syaira pun ikut
tersenyum dengan tingkah Afifa. Syaira merasa teman barunya ini adalah orang
yang menyenangkan. Tidak terasa sampailah mereka di persimpangan jalan antara
jalan Anggrek dan jalan Melur. Setelah berjanji untuk bertemu lagi, akhirnya
Syaira dan Afifa berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Perasaan Syaira
yang tadi gundah mulai berkurang berganti dengan keceriaan. Apalagi dia
sekarang sudah mempunyai teman baru. Syaira memang baru tinggal sebulan di
tempat Tante Lies, adik mama yang paling kecil. Syaira sengaja datang ke kota
ini karena ingin melupakan kejadian yang menyakitkan dalam hidupnya. Om dan
Tantenya berusaha menghibur Syaira yang sedang terluka. Walaupun dirumah tante Lies
ada Haikal, anak tante yang berusia 2 tahun. Tapi tetap saja Syaira merasa
sendiri dan belum bisa melupakan luka hatinya. Setiap hari kegiatannya hanya
pergi ke taman kecil yang tak jauh dari rumah Tante Lies, sampai akhirnya
Syaira bertemu dengan Afifa. Mengingat Afifa membuat Syaira tersenyum.
“ Duh, kak Syaira senyum-senyum
sendiri, lihat tuh dek, kakakmu. Kenapa ya?” suara Tante lies mengejutkan
Syaira. Syaira tersipu menyadari dia sudah sampai di depan rumah tante. Syaira
melihat Om Arman dan Tante Lies sedang duduk santai di teras rumah menikmati
suasana sore sembari minum teh. Haikal yang sedang bermain mobil-mobilan
berlari menyambut Syaira. Syaira langsung memeluk dan mencium bocah kecil itu.
Sambil menggendong haikal, dia menghampiri tante dan om. “ Sepertinya kamu
sedang gembira ya Sya?” tanya om Arman.
“enggak kok om” Syaira menjawab sambil
berusaha menenangkan Haikal yang ingin turun dari gendongannya.
“ lah terus kenapa kamu senyum-senyum
dari tadi, tante perhatikan sejak kamu di ujung jalan sampai ke gerbang,
tingkah kamu lucu deh” ujar tante lies. “ Oh itu karena syaira teringat
kejadian di taman, tadi sewaktu Syaira di taman. Syaira berkenalan dengan
seorang cewek, namanya Afifa, katanya dia anak jalan Melur, tante kenal?” oh
Afifa, siapa sih yang tidak kenal Afifa, itu lho bi, anaknya kak Lia” ujar
Tante Lies sembari menjelaskan kepada suaminya. “oh Ifa yang pake kacamata itu
ya? Anaknya lucu dan bawel kan? Tapi orangnya baik kok, dulu dia sering kesini
ya mi?” ujar Om Arman. “iya bi, Cuma sekarang dia sibuk, kata bundanya, ifa
lagi ke luar kota, kalo engga, dia ampir tiap hari kesini maen ama haikal,
maklum ifa anak bungsu, abangnya kerja di kota lain. Otomatis dia tinggal
berdua ama bundanya” tante lies menjelaskan. Emang papanya kemana tan? Tanya
Syaira. Papanya ifa udah lama meninggal” “oh”
syaira manggut-mangut. “Tante
senang lho kalo kamu bisa berteman dengan ifa, entar kamu jalan-jalan
aja ama ifa, biar pikiran kamu lebih fresh gak di rumah terus..iya bi ya?” “Iya
umiku” kata om arman dengan manja kepada istrinya. Syaira jadi tertawa lihat
tingkah polah omnya, sementara Haikal terlihat tidak rela abinya bertingkah
seperti itu kepada uminya. Haikal langsung memeluk Tante lies. Syaira
berinisiatif segera menghindar dari teras sebelum menyaksikan adegan Haikal
ngambek dan menangis. “Syaira mau mandi dulu ah,” katanya sambil berjalan masuk
kedalam.
--------------------------------------------------------------
Mentari pagi menyapa hari yang sudah
ramai dengan kicau burung. Syaira membuka jendela kamarnya. Angin segar menyerbu
memasuki kamar. Dia membentangkan kedua tangannya seakan ingin menyambut angin
yang menerpa wajahnya. Sebenarnya kota kecil tempat om dan tantenya ini sangat
indah. Pemandangannya masih asri. Tidak ada asap knalpot yang mengganggu
pernafasan. Jalan raya pun tidak seramai di kota metropolitan. Siapapun yang
merasa suntuk dan sumpek dengan kebisingan kota, pasti betah tinggal disini.
Tapi karena Syaira masih terluka, jadi dia tidak begitu memperhatikan keindahan
lingkungan barunya ini.
Syaira baru selesai mandi ketika
terdengar suara Tante Lies menjawab salam dan membuka pintu depan. Setelah
selesai berpakaian dan memakai jilbab, ia keluar dan mendapati Tante sedang
duduk dengan Afifa.
“ Tuh syaira” ujar Tante lies yang
menyadari kehadirannya. “oh hai Syaira, baru mandi ya? Aku kangen haikal,
makanya pagi-pagi kemari. Tapi kata tante,
haikal blom bangun. Lagian aku
juga pengen ngobrol ama kamu” celoteh afifa dengan riang. Syaira hanya
tersenyum dan duduk di samping Tante Lies. Tante Lies beranjak ke dapur untuk
melanjutkan memasak. “ ntar kamu makan disini kan fa?” Tanya Tante. “Iya dong
tan, jatah makanku disini belom berkurang kan?” sahut Afifa. Tante lies hanya
tertawa kecil. Tinggallah Syaira dan Afifa. Syaira menyadari betapa akrabnya
Afifa dengan keluarga tante. Tapi itu bisa di maklumi mengingat Afifa orangnya
sangat supel.
“Ntar sore kamu ke taman kan? Barengan
ya? Tanya Afifa. “ boleh,” jawab Syaira.
“ Ayo Syaira, Afifa makan dulu”
terdengar suara Tante Lies memanggil mereka untuk makan. Kedua gadis itupun
beranjak ke ruang makan dan melanjutkan obrolan ringan setelah makan sembari
mencuci piring.
Sore itu langit berwarna biru. Semilir
angin menerbangkan daun daun kering yang terinjak sepatu Syaira. Syaira
membetulkan letak kerudungnya yang sedikit melorot. Dia mengedarkan pandangan
sekeliling taman. Tampak beberapa orang sedang melakukan olahraga voli,
sepasang orang tua berjalan santai di bebatuan taman, sementara ibu-ibu muda
membawakan kereta bayi “ Mana dia? Blom kliatan juga” gumamnya dalam hati
sembari duduk. “ doorrr” sebuah suara mengagetkannya.
“Astaghfirullah..Astaghfirullah”
Syaira mengusap dada. Afifah tertawa melihat tingkah Syaira yang terkejut.
Syaira langsung memukul lengan Afifah yang jahil kepadanya.
“ Kamu sih kebanyakan ngelamun, jadinya kaget
kan?”.
“ Siapa yang ngelamun, aku tadi
perhatikan sekitar sini, siapa tau kamu udah nyampe nggak taunya..ughhh”.
Syaira masih sebel melihat Afifa yang masih nyengir. Afifa duduk sambil
meletakkan tas dan peralatan yang dia bawa. “ Kamu bawa apa tuh?” Tanya Syaira.
Afifa mengeluarkan peralatan yang dia bawa yang ternyata adalah kanvas dan
bingkai. Dia juga mengeluarkan kuas, cat dan pinsil.
“ oh kamu mau ngelukis ya? Kok nggak
bilang kalo kamu pinter ngelukis?”
“ kamu nggak pernah nanya” jawab Afifa
cuek sambil mulai mencampur warna di dalam palet. Syaira tersenyum malu
mengingat betapa tidak pedulinya dia dengan kehidupan afifa. Dia tidak pernah bertanya kepada Afifa dan
kegiatannya. Afifa mulai mengurat kanvas dengan pinsil dan mulai melukis,
Karena tidak ingin menganggu, Syaira mengeluarkan buku yang dibawanya dan mulai
membaca.
“ Pulang yuk, udah mau maghrib” Ajak
afifa yang sepertinya sudah mulai membereskan peralatan lukisnya. Syaira
melihat hasil lukisan afifa, dia melukis anak kecil yang sedang bermain bola
dengan latar kolam bunga yang ada di tengah taman itu. Tapi masih belum
sempurna.
“ Aku akan menyelesaikan di rumah aja.
Entar kamu datang kerumahku untuk melihat hasil akhirnya ya sekalian aku ingin
menunjukan padamu lukisanku yang lain”.
” Baiklah” ujar Syaira.
Dan mereka pun segera pulang
meninggalkan taman yang sudah mulai sepi.
--------------------------------------------------------
Malamnya ketika Syaira sedang
mendengarkan suara lembut Maher Zain dengan Thank you Allahnya, Hpnya berbunyi.
Mama nelpon. “Assalamualaikum, Apa kabarmu nak?” Wa’alaikumsalam Baik ma,
Alhamdulillah” jawab Syaira. Mendengar suara mama, membuatnya kangen senyum
mama, kangen hangatnya pelukan mama.
“ Mama kangen sya, tapi mama tak ingin
kamu pulang kalau kamu belum bisa melupakan kejadian itu. Mama hanya ingin kamu
menjadi sosok perempuan yang lebih tegar dan bijaksana” ujar Mama.
“Iya ma, Syaira senang disini, om dan
tante sangat baik. Syaira juga sering bermain dengan haikal. Syaira juga punya
teman baru disini ma, namanya Afifa orangnya seru dan lucu”.
“Tapi jangan sampai seperti kejadian yang
kemarin ya, kamu punya teman yang akhirnya..” tukas mama.
” Engga ma, afifa orangnya baik kok
ma, lagian ga semua orang itu sama kan ma?”.
” Iya sayang, mama paham itu, mama
hanya takut kamu di manfaatkan lagi oleh orang lain”.
“InsyaAllah ma, sya sudah belajar dari
pengalaman dan semoga tak akan terulang kedua kali,”
“Syukurlah sya, mama senang mendengar kamu
sudah bisa lebih bijak sekarang. Semoga luka hatimu cepat sembuh dan kamu bisa
kembali ke rumah, sayang lho masakan mama ga ada yang habisin”.
” Kan ada papa”. “Duh sya, kamu kan tau
sendiri papa nggak boleh makan banyak-banyak, ntar penyakitnya kambuh lagi. Ya
sudah, salam buat om dan tante ya, kalo papa punya waktu, mama akan ajak papa
tuk liat kamu disana”, “beneran ya ma? Cihuiiii”. Syaira berteriak gembira.
Setelah mengucapkan salam perpisahan,
syaira menutup telpon. Telpon dari mama membuat dia senang sekaligus menyisakan
pedih. Betapa dia telah membuat sedih dan malu keluarganya.
Adalah Maudy, sahabatnya yang menjadi
alasan dia menenangkan diri disini. Maudy yang selalu setia. Kemana-mana mereka
selalu berdua, suka dan duka selalu bersama. Bahkan memilih kuliah pun selalu
bersama. Dan karena selalu bersama hingga akhirnya sekarang berpisah hanya
karena seorang Andre. Andre adalah kekasih Syaira. Namun memilih Maudy untuk
menjadi istrinya. Ternyata selama ini mereka diam-diam berhubungan di belakang
Syaira. Betapa sakit dan hancurnya hati dan perasaan Syaira mengetahui hal itu.
Ditambah lagi mereka sudah menetapkan tanggal pernikahan. Syaira tidak kuat.
Syaira tidak sanggup melihat sahabat dan kekasih duduk berdampingan di
pelaminan. Dan akhirnya dia memutuskan untuk menenangkan hati dan pikiran di
rumah tante lies.
Kejadian itu sudah enam bulan yang
lalu, namun masih membekas diingatannya ketika Maudy dan Andre mengantarkan
surat undangan pernikahan mereka. Walaupun mereka sudah mengucapkan kata maaf,
tapi tetap saja Syaira belum bisa menerima perlakuan mereka kepadanya. Rasa
sakit hati itu masih terasa sampai sekarang. Syaira hanya mencoba menata
hatinya yang hancur. Masih terbayang betapa malunya Papa dan Mama dengan
perlakuan Andre dan Maudy kepada mereka. Tapi Papa dan Mama tetap berusaha
tegar dan bijaksana. Beruntung dia punya orang tua yang sangat pengertian,
kalau tidak dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa menjalani semua ini.
-------------------------------------------------------
Hari- hari Syaira semakin terasa
menyenangkan sejak kehadiran Afifa. Dia juga sudah sering ke rumah Afifa. Dan
bunda Alia baik dan ramah. Karena Syaira tidak punya kegiatan. Dia sering
menghabiskan waktu di rumah Afifa. Walau Afifa tidak ada, Syaira menemani bunda
Alia di rumahnya yang asri. Syaira juga sudah melihat koleksi lukisan Afifa.
Namun Syaira heran mengapa setiap lukisan Afifa selalu tidak kelihatan wajah
orang yang dilukisnya. Yang terlihat,hanya punggung dari obyek dalam
lukisannya. Apapun bentuk dan kegiatan yang ada dalam lukisan itu. Seperti
lukisan yang di taman itu, tentang anak-anak yang sedang bermain, tetap tidak
terlihat raut wajah obyek yang dilukis. Pernah Syaira menanyakan tentang hal
itu, tapi Afifa tak pernah mau menjawabnya. Dia hanya tersenyum bila Syaira
menanyakannya lagi.
“Assalamaualaikum” terdengar suara
riang afifa membahana sampai kedapur. “halooooo, anybody home?????”
”Wa’alaikumsalam masuk fa, aku lagi
didapur ni,” jawab Syaira. “Emang tante lies kemana?”. ”lagi kepasar… Tunggu di
kamar aja fa, aku entar lagi selesai kok”.
“Oke deh” ujar Afifa sambil berlalu kekamar
Syaira. Syaira pun kembali membereskan kegiatannya mencuci piring. Setelah
selesai, dia pun ke kamar menemui Afifa.
“Ifa apa yang kau lakukan?” Suara Syaira
mengagetkan Afifa yang sedang membaca buku harian Syaira. Syaira lalu merebut
buku itu dari tangan afifa. Afifa terpaku dengan reaksi Syaira. Dengan tergagap
Afifa mencoba berkata ”maafkan aku sya a..aku tidak bermaksud membaca diarimu.
Tadi kulihat buku itu terletak di meja. Aku hanya ingin memindahkannya dan…….”
“Dan kamu ingin membacanya kan? Kamu
ingin tahu isinya…apa yang kutulis dan segala yang kucurahkan, iya kan?”. Syaira
memotong ucapan Afifa.
“Sya, bukan gitu. Aku hanya…….”.
“Keluar” tukas Syaira. Afifa terhenyak
ketika melihat betapa dinginnya sorot mata Syaira. “Sya, maaf……”. Syaira
berpaling dan tidak menghiraukan Afifa. Afifa terlihat menyesal. Dia tidak
menyangka Syaira begitu marah. Afifa pun pergi meninggalkan Syaira.
Sepeninggal Afifa, Syaira terduduk di
tepi tempat tidur, nafasnya memburu menahan emosi yang masih terasa di dada. Dia
paling tidak suka barang pribadinya di lihat dan di otak atik oleh orang lain,
dan tindakan Afifa sudah kelewat batas. Baginya hal itu sama saja dengan Afifa
tidak mempercayainya. Dan dia tidak suka itu. Sejak kejadian dengan Maudy,
kepercayaanya kepada orang lain berkurang.
-----------------------------------------------
Hujan mengguyur bumi setelah sekian
lama kemarau. Dari balik jendela kamar Syaira menyaksikan titik-titik air hujan
membasahi taman bunga Tante lies. “Sepertinya bunga berpesta pora dengan adanya
hujan”. Syaira masih bermain-main dengan pikirannya. Tanpa sadar tangannya
menulis sesuatu di kaca jendela. Guratan tangan syaira membentuk kata yang sangat
dia kenal “Afifa”. Syaira tersadar ternyata dia masih memikirkan sahabatnya
itu. Syaira tidak pernah bertemu dengan Afifa lagi semenjak kejadian itu. Dia
pun sudah jarang pergi ke taman. Ada rasa rindu ingin mendengar tawa dan ceria
gadis berkacamata itu. Tapi egonya mengalahkan semua rasa itu. Syaira masih
belum bisa menerima perbuatan Afifa kepadanya. Dan Afifa juga tidak pernah
menghubunginya. Bosan juga rasanya tidak ada yang menemani.
Sekarang Syaira hanya lebih sering
bermain dengan Haikal dan sesekali membantu Tante Lies merawat kebun bunganya.
Tante Lies juga pernah menanyakan kepada Syaira mengapa Afifa tidak pernah
datang. Syaira menjawab bahwa Afifa sedang sibuk. Syaira merasa bersalah telah
berbohong kepada Tante Lies, tapi dia tidak mau Tante Lies mengetahui
perselisihannya denga Afifa.
Ketika hujan sudah reda, Syaira pergi
ke toko bunga. Dia bermaksud untuk membeli bunga Anggrek untuk Tante lies, biar
taman bunga tante semakin indah dan cantik. Syaira sedang bertanya kepada
penjual bunga ketika ada yang menepuk bahunya. Dia menoleh dan didepannya
berdiri seorang perempuan paruh baya memakai gamis warna hijau dan jilbab
kuning pucat yang serasi. “ eh Bunda Lia apa kabar?” Seru Syaira sembari
mencium tangan Bunda Lia. “ Alhamdulillah baik, kamu sedang apa disini?”, “Ini
bun, lagi liat bunga. Kali aja ada yang bagus dan bisa dibeli untuk nambah
koleksi bunga tante” jawab syaira.
“Wah, pasti Tantemu sangat senang
menerimanya”. Kata Bunda Alia. Syaira tersenyum.
“Setelah ini kamu mau kemana Sya?”
“Langsung pulang, emang kenapa bunda”
“Temenin bunda yuk, bunda mau ke
apotik”
“Boleh, ntar ya, Sya bayar dulu”
Setelah Syaira selesai membayar bunga
yang dibelinya. Bunda Lia mengajak syaira ke apotik untuk mengambil obat
pesanannya. “Selamat pagi bunda. Mau ambil obat pesanan bunda ya. Ini dia” Kata
penjaga apotik sambil menyerahkan sebuah kota berukuran sedang. “Bagaimana
kabar Afifa bunda? Apakah obatnya masih rajin diminum?” Tanya penjaga itu lagi.
“Hari ini habis, syukurlah stoknya udah nyampe” , makasih ya” Jawab Bunda Lia
dan dia mengajak syaira meninggalkan apotik.
Syaira terkejut ketika mendengar
percakapan antara Bunda dan penjaga apotik tadi.
Apa??? Afifa sakit?, kok dia tidak
pernah tahu. “Bunda, emang selama ini Afifa sakit apa?” Tanyanya kepada bunda
Lia.
Bunda Lia menghentikan langkah dan
menatap mata Syaira. Bunda mengajak Syaira ke taman dan mereka memilih duduk di
bangku taman. Lama mereka terdiam. Ketika Syaira hendak bertanya kembali, Bunda
menghela nafas dan berkata ”Sebenarnya Ifa tidak menginginkan cerita tentang
penyakitnya di ketahui semua orang. Tapi karena kau adalah temannya sekarang,
bunda ingin kamu juga harus tau ini.”. Syaira melihat kearah Bunda Lia. Bunda
melanjutkan ceritanya.
”Dulu, lima tahun yang lalu, Afifa
mengalami kecelakaan yang parah. Akibat kecelakaan itu, mata kirinya rusak dan
dia buta. Dia hanya bisa memanfaatkan mata kanannya untuk bisa melihat. Tapi
dasar Ifa, dia tetap ceria dan seperti tidak pernah merasa keberatan dengan
kondisinya yang hanya bisa melihat dengan satu mata saja. Malah yang lebih
sering nangis itu bunda, bunda selalu mengeluh kepada Naufal, abangnya tentang Ifa.
Tapi Naufal selalu berusaha menyemangati bunda dan dia juga selalu
memperhatikan kesehatan adiknya itu”. Bunda terdiam dan menghela nafas.
“Seminggu yang lalu, kami ke tempat
Naufal untuk cek mata Ifa. Kamu tau apa kata dokter sya, dokter bilang Afifa
akan mengalami kebutaan total karena mata kanannya akan mulai tidak berfungsi
lagi”. Bunda Lia sesenggukan.
Syaira terkejut mendengar cerita
bunda. Syaira memeluk bunda dan dia juga ikut menangis. Dia bisa membayangkan
betapa menderitanya Afifa. Sambil menangis, bunda berusaha berbicara, ”Kalaupun
dilakukan operasi pengangkatan mata. Hal itu juga tidak akan membantu. Karena
nyawa taruhannya. Dan afifa juga tidak mau. Ifa bilang lebih baik dia buta
selamanya daripada harus kehilangan kesempatan hidup..oh ifa, kasian sekali
dirimu nak”. Bunda kembali menangis. Syaira memberikan saputangannya dan
mengusap air mata di pipi bunda Alia. Dia bisa merasakan kesedihan bunda.
Setelah bunda bisa tenang kembali, dia
meninggalkan Syaira yang memilih untuk tetap duduk di taman itu. Syaira
merenungi keegoisannya selama ini kepada Afifa. Dia merasa bersalah. Dia ingin
meminta maaf kepada sahabat terkasihnya itu. Syaira bergegas pulang untuk
mengantar bunga yang baru di belinya dan menyerahkan kepada Tante lies. Tanpa
menunggu reaksi Tante Lies, dia langsung pergi menuju rumah Afifa. Syaira
mengucap salam, dia melangkah ke kamar Afifa. Disana ada bunda yang sedang
memberikan obat kepada Afifa. Afifa melihat Syaira yang datang, “Ayo masuk sya,”
Katanya riang seolah-olah selama ini mereka tidak bermusuhan. Syaira dengan
canggung mendekati afifa yang terbaring di tempat tidur. Dia melihat sahabatnya
itu minum obat yang di berikan bunda. Bunda Alia beranjak pergi setelah Afifa
meminum obatnya. “gimana kabarmu sya? Tanya Afifa. Syaira hanya terdiam melihat Afifa, “ heii,
hallo..” Afifa mengguncang tangan Syaira. Syaira tersentak. “ Kok kamu
ngeliatin aku seperti itu?” Afifa kembali bertanya. Syaira langsung memeluk Afifa
sambil menangis. Afifa jadi bingung
dengan kelakuan Syaira.
“Hei sya, kamu kenapa?”
“Maafkan aku ya fa, selama ini aku
sudah salah sama kamu. Aku udah nuduh kamu tanpa mau dengar penjelasan kamu..”.
Syaira mengeluarkan uneg-unegnya. Afifa melepaskan pelukan syaira.
“Aku udah maafin kamu kok, aku tau
kamu tuh orangnya sensitif dan sangat peka. Aku juga udah tau cerita tentang
kamu dari tante lies jauh sebelum kejadian itu. Aku ngerti kok kenapa kamu
bersikap seperti itu,“ Syaira mengusap airmatanya
”Udah stop..jangan nangis lagi..jelek
tau..ntar bang Naufal nggak mau lagi liat kamu yang cengeng dan mewek kayak
gini”. ledek Afifa. “Apaan sih” Syaira tersipu malu mendengar ledekan Afifa. “Ha
ha”. Afifa tertawa senang melihat reaksi Syaira.
Naufal, abang Afifa yang kerja di kota
lain sekali waktu pernah pulang dan bertemu dengan Syaira. Afifa selalu
mengolok Syaira dan berusaha menjodohkan abangnya dengan sahabatnya itu. Naufal
sepertinya tidak terganggu dengan aksi adiknya itu. Syaira juga tahu, Naufal
sering mencuri pandang kepadanya bila mereka sedang duduk ngobrol bersama Bunda
dan afifa. Syaira merasa Naufal ada perhatian kepadanya. Tapi dia belum
memikirkan hal itu dulu, dia tidak mau kejadian yang dulu terulang lagi bila
dia memulai suatu hubungan. Sekarang dia mengharapakan agar Allah memberikan
yang terbaik untuknya. Syaira lalu menatap Afifa yang masih nyengir
memandangnya.
“fa, kamu kok nggak pernah cerita
tentang penyakitmu? Jangan salahkah bunda kalo aku tau cerita ini dari bunda”.
Syaira kembali berbicara ketika melihat Afifa akan membuka mulut untuk
berbicara.
“ Kalau kamu tau sya, apakah kamu akan
mengasihaniku?” Tanya Afifa
“Aku tak perlu mengasihanimu, kulihat
kamu cukup tegar dengan ini semua” Jawab Syaira.
Afifa membetulkan letak kacamatanya.
Sambil menatap Syaira, dia berkata.
“Dulu ketika pertama kali aku
mendengar vonis dokter, aku tak terima. Tak bisa bayangin jadi buta. Aku sedih,
aku marah dan merasa ini semua tidak adil. Aku lari dari rumah sakit padahal
aku masih dalam perawatan, lukaku juga belum sembuh. Aku berlari dan menghindar
dari bunda dan bang Naufal. Aku tau mereka panik karena tidak menemukanku. Aku
tak peduli. Aku terus berlari hingga akhirnya aku sampai di suatu tempat”.
Afifa terdiam, dia bangun dan
melangkah kearah jendela, Syaira masih tetap duduk memperhatikan tingkah Afifa.
Sambil memandang keluar Afifa melanjutakan ceritanya.
“Disitu aku melihat pemandangan yang
mengubah pemikiranku. Aku lihat seorang anak kecil berusia sekitar 8 tahun.
Langkahnya pelan dan tertatih dibantu tongkat yang berfungsi sebagai penuntun
jalannya. Ternyata dia tidak bisa melihat. Dia tetap bahagia, dia tetap ceria
bercanda dengan teman-temanya. Aku baru tahu belakangan kalau semenjak lahir
dia sudah buta. Kata orang-orang yang mengenalnya, dia tak pernah mengeluh. Dia
hanya tersenyum bila ada yang mengejeknya”. Afifa kembali terdiam, terlihat ada
senyum dibibirnya seakan membayangkan pertemuannya dengan gadis kecil itu. Dia
kembali duduk di dekat Syaira.
“Pernah kutanyakan padanya tentang
bagaimana perasaanya ketika ada yang mengejeknya. Dia menjawab bahwa ayah dan
ibunya slalu mengajarkan padanya untuk tidak pernah sakit hati dan membalas
perbuatan orang lain. Katanya biar Allah yang membalasnya. Dengan polos dia
juga berkata kalau dia lebih baik tidak bisa melihat sehingga dia tak perlu
melihat wajah orang yang menghinanya. Duh sya, kau tahu apa yang kurasakan.
Sementara aku, Aku malah tidak mau menerima takdirku”. Mata Afifa berkaca-kaca.
Syaira mengusap punggung Afifa.
“Sya, sekarang aku tak pernah
menyalahkan siapapun dengan kejadian yang ku alami ini, juga aku tidak ingin
menyalahkan Tuhan. Karena semua sudah terjadi. Aku juga tidak ingin
menyesalinya. Bagiku diberi kesempatan hidup saja itu merupakan karunia yang
tak ternilai harganya. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna, walau
aku harus kehilangan penglihatan selamanya.” Ada nada optimis di balik
kata-kata Afifa.
“Begitu juga dengan kamu sya, kalau emang
gak mau ngerasain sakit, jangan jatuh cinta. Jangan bayangkan cinta itu
keindahan semata. Jangan maunya resapi wangi bunga mawar tapi durinya tak
dihiraukan. Jangan juga berkhayal kisah cinta itu seperti Cinderella atau Putri
Salju yang menemukan pangeran impian dan hidup bahagia selamanya. Ada juga
kisah cinta yang tragis seperti Romeo dan Juliet atau Khais dan Laila. Bila
saat ini cintamu pupus. Yakinlah suatu hari akan hadir cinta baru yang lebih
baik. Segalanya tak akan terwujud bila tiada campur tangan dari Allah. Nikmati
rasa sakit ini sebagai pengalaman yang paling berharga. percayalah”. Ujar Afifa
dengan bijak.
Syaira tergugu mendengar ucapan Afifa.
“ Aku beruntung ya sya, punya bunda dan abang yang begitu menyayangiku, dan aku
juga beruntung punya sahabat baru sepertimu”. Syaira memeluk Afifa. Sambil
mengelus ujung jilbab Syaira, sahabat baiknya itu melanjutkan perkataanya. “Coba
kamu bayangkan sya, banyak orang-orang di luar sana yang juga tidak sempurna tapi
tetap semangat, banyak orang yang tidak beruntung dalam hidupnya, anak kecil
yang kehilangan orang tua tapi dia tetap tegar”. Afifa melepaskan pelukannya. “ Sya, aku ingin
tetap tegar,”. Syaira tersenyum dan menggengam erat tangan Afifa. “ Kamu pasti bisa fa, aku yakin kamu pasti
bisa”. Afifa dan Syaira tersenyum. “ tapi kamu jangan mewek lagi ya sya” goda
afifa..” Ifaaa..kamu ini…”. Syaira berteriak gemas. Gelak tawa Afifa membahana
melihat sahabatnya itu kembali cemberut.
-------------------------------------------
Sore itu langit indah sekali, Awan
putih berarak dilatar bias matahari yang masih menyisakan warna emasnya. Syaira
dan Afifa menyusuri jalan setapak di taman itu. Suasana taman masih sama
seperti biasa kalau tidak hujan. Tetap
ramai dan banyak orang berolahraga. Ada anak- anak sedang bermain bola di
rumput taman.
Syaira menuntun Afifa untuk duduk di
bangku taman tempat pertama kali mereka bertemu. Penglihatan afifa mulai kabur.
Menurut Dokter yang menanganinya, waktu untuk melihat bagi Afifa hanya tinggal
dua bulan lagi. Setelah itu dia akan buta total. Syaira salut dengan Afifa. Dia
tetap bisa menerima semua yang terjadi padanya. Kemarin, Afifa menghadiahi
sebuah lukisan perempuan berkerudung yang ternyata itu adalah Syaira. Berbeda
dengan lukisan-lukisannya terdahulu, Syaira dilukis dengan menampakkan muka
keseluruhan. Afifa menjelaskan kenapa dia selalu melukis orang yang terlihat
hanya punggungnya saja. Karena dia sudah merasa dia tidak akan bisa melihat
lagi, dan dia tidak ingin melukis mata di obyek lukisannya. jadi dia selalu
melukis dengan gaya seperti itu. Tapi untuk Syaira, Afifa bersedia melukisnya
dengan menampilkan sosok Syaira yang anggun dan cantik. Lagi-lagi Syaira banyak
belajar dari seorang Afifa. Afifa yang telah membuka mata hatinya yang selama
ini selalu merasa orang yang paling sial dan merana di dunia ini. Dari afifa,
dia belajar tentang keikhlasan dan kesabaran.. Syaira merasa menjadi makhluk
paling kecil di balik kebesaran hati Afifa.
Afifa pernah berkata padanya kalau dia
ingin seperti matahari yang selalu memberikan sinar kehangatan bagi orang-orang
yang memerlukan. Dia ingin seperti hujan yang memberikan kesejukan dalam tiap
tetesnya dan dia juga ingin seperti pelangi yang memberikan warna keindahan
setelah hujan
Syaira bertekad akan selalu
mendampingi Afifa. Walau pun dia tahu, Afifa tidak pernah meminta bantuan
kepadanya. Tapi dia ingin menjalani hari-hari selanjutnya bersama sahabat
terkasihnya itu.
“Kita pulang sya?” suara Afifa lembut
di gendang telinganya.
“Ayolah, sudah mulai sepi
keliatannya,”.
“Besok kita kesini lagi ya?” Pinta
Afifa.
“Sip, kita akan kesini saban sore
kalau…,
”Tidak hujan”. Sambung Afifa sambil
tertawa. Syaira mencubit hidung Afifa dengan gemas. “Sya, sakit tauu”. Afifa
sebel dengan perlakuan syaira. Syaira hanya tersenyum dan dia menarik lembut
lengan Afifa dan membantunya berdiri. Mereka bergandengan tangan menyusuri
jalan. Syaira yakin, hari-harinya akan berarti di masa datang. Masa lalunya
akan dijadikan pengalaman yang tak akan terlupakan. Masa lalu takkan pernah
dijadikan penyesalan karena dari situlah introspeksi dimulai. Walau penyesalan
selalu datang belakangan. Betapa Allah begitu sayang dengan menghadirkan masa lalu
yang semoga dijadikan pelajaran dan berharap tidak akan terulang lagi. Ambil
hikmahnya dan terus melangkah karena jalan ini masih panjang.
Dia bersyukur punya pengalaman seperti
itu. Karena membuat dia menjadi dewasa dan belajar lebih bijak. Belajar untuk
bisa tegar dan belajar punya hati yang penuh lentera seperti Afifa.
SELESAI
Mee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar