Senin, 12 Maret 2012

LENTERA DUA HATI


Daun itu akhirnya luruh setelah angin tak henti-hentinya menggoyangkan dahan tempatnya bernaung. Syaira menatapnya dengan miris, “ Begitukah aku saat ini? Seperti daun itu yang akhirnya melayang jatuh ketanah”. Syaira menghembuskan nafas dan melihat sekeliling. Sudah lebih dari dua jam dia ditempat ini, tempat yang menjadi favoritnya. Sebuah taman disudut kota, tempat dia tinggal sekarang.
Taman itu ditumbuhi bunga beraneka warna, juga rindang dengan pepohonan yang menyejukkan. “Akhirnya aku disini….sendiri, sepi dan mencoba menata kepingan hati yang hancur. Entah bisa utuh kembali atau makin terpuruk dan semakin jatuh. Ibarat cermin retak yang walaupun dicoba direkatkan, tetap saja ada garisnya”. Gumamnya dihati sambil menatap langit.
Syaira menutup buku yang dari tadi satu barispun belum dia baca. Pikirannya melayang mengingat kenangan pahit yang coba dia hilangkan tapi, tak bisa. Sampai saat ini dia tak habis pikir mengapa semua ini terjadi dalam hidupnya. Apa ini takdir dan jalan hidup yang digariskan Sang Maha Kuasa? Huff…lagi-lagi Syaira menghela nafas
“ Sepertinya ini sudah kali kesepuluh aku melihat kau menghela nafas”, Sebuah suara menyelinap keruang dengarnya dan menyentak lamunannya. Syaira menoleh ke samping kanan. Sepasang kaki terbungkus sepatu olahraga berdiri tak jauh dari duduknya. Terlihat wajah yang berkeringat dengan sorot mata yang jenaka dibalik kacamata bingkai pink, sangat kontras dengan warna baju yang kuning benderang. Kerudung putihnya sedikit basah. Syaira melirik sebal dengan usikan si penganggu itu. Dia beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Tapi dia merasa ada seseorang yang mengikuti langkahnya. Syaira berbalik kebelakang dan lagi lagi wajah yang sedang tersenyum dengan kaca mata pink yang sangat kontras itu. “Kenapa kau mengikutiku?’ “ Aku hanya ingin berkenalan denganmu, bolehkan? Lagian aku dari tadi lihat wajahmu yang cemberut aja, kamu lagi ada masalah ya?. “ Apa urusanmu? Tukas Syaira dengan ketus.
“ Jangan marah dong. Aku hanya ingin berkenalan denganmu, syukur syukur kamu mau berteman denganku. kamu tinggal di jalan Anggrek kan? Dirumahnya Tante Lies kan? Aku Afifa. Panggil aja ifa aku tinggal di jalan Melur, seberang jalan anggrek”. Ujar cewek itu sambil mengulurkan tangan mengajak Syaira berkenalan. Dengan setengah hati Syaira membalas jabatan tangan Afifa dan menyebutkan namanya. Afifa dengan serta merta mengajaknya berjalan. Sepanjang perjalanan, bibir Afifa tidak berhenti berceloteh, ada saja yang dibicarakan terutama hal-hal yang lucu. Dan mau tidak mau Syaira pun ikut tersenyum dengan tingkah Afifa. Syaira merasa teman barunya ini adalah orang yang menyenangkan. Tidak terasa sampailah mereka di persimpangan jalan antara jalan Anggrek dan jalan Melur. Setelah berjanji untuk bertemu lagi, akhirnya Syaira dan Afifa berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Perasaan Syaira yang tadi gundah mulai berkurang berganti dengan keceriaan. Apalagi dia sekarang sudah mempunyai teman baru. Syaira memang baru tinggal sebulan di tempat Tante Lies, adik mama yang paling kecil. Syaira sengaja datang ke kota ini karena ingin melupakan kejadian yang menyakitkan dalam hidupnya. Om dan Tantenya berusaha menghibur Syaira yang sedang terluka. Walaupun dirumah tante Lies ada Haikal, anak tante yang berusia 2 tahun. Tapi tetap saja Syaira merasa sendiri dan belum bisa melupakan luka hatinya. Setiap hari kegiatannya hanya pergi ke taman kecil yang tak jauh dari rumah Tante Lies, sampai akhirnya Syaira bertemu dengan Afifa. Mengingat Afifa membuat Syaira tersenyum.
“ Duh, kak Syaira senyum-senyum sendiri, lihat tuh dek, kakakmu. Kenapa ya?” suara Tante lies mengejutkan Syaira. Syaira tersipu menyadari dia sudah sampai di depan rumah tante. Syaira melihat Om Arman dan Tante Lies sedang duduk santai di teras rumah menikmati suasana sore sembari minum teh. Haikal yang sedang bermain mobil-mobilan berlari menyambut Syaira. Syaira langsung memeluk dan mencium bocah kecil itu. Sambil menggendong haikal, dia menghampiri tante dan om. “ Sepertinya kamu sedang gembira ya Sya?” tanya om Arman.
“enggak kok om” Syaira menjawab sambil berusaha menenangkan Haikal yang ingin turun dari gendongannya.
“ lah terus kenapa kamu senyum-senyum dari tadi, tante perhatikan sejak kamu di ujung jalan sampai ke gerbang, tingkah kamu lucu deh” ujar tante lies. “ Oh itu karena syaira teringat kejadian di taman, tadi sewaktu Syaira di taman. Syaira berkenalan dengan seorang cewek, namanya Afifa, katanya dia anak jalan Melur, tante kenal?” oh Afifa, siapa sih yang tidak kenal Afifa, itu lho bi, anaknya kak Lia” ujar Tante Lies sembari menjelaskan kepada suaminya. “oh Ifa yang pake kacamata itu ya? Anaknya lucu dan bawel kan? Tapi orangnya baik kok, dulu dia sering kesini ya mi?” ujar Om Arman. “iya bi, Cuma sekarang dia sibuk, kata bundanya, ifa lagi ke luar kota, kalo engga, dia ampir tiap hari kesini maen ama haikal, maklum ifa anak bungsu, abangnya kerja di kota lain. Otomatis dia tinggal berdua ama bundanya” tante lies menjelaskan. Emang papanya kemana tan? Tanya Syaira. Papanya ifa udah lama meninggal” “oh”  syaira manggut-mangut. “Tante  senang lho kalo kamu bisa berteman dengan ifa, entar kamu jalan-jalan aja ama ifa, biar pikiran kamu lebih fresh gak di rumah terus..iya bi ya?” “Iya umiku” kata om arman dengan manja kepada istrinya. Syaira jadi tertawa lihat tingkah polah omnya, sementara Haikal terlihat tidak rela abinya bertingkah seperti itu kepada uminya. Haikal langsung memeluk Tante lies. Syaira berinisiatif segera menghindar dari teras sebelum menyaksikan adegan Haikal ngambek dan menangis. “Syaira mau mandi dulu ah,” katanya sambil berjalan masuk kedalam.
                        --------------------------------------------------------------

Mentari pagi menyapa hari yang sudah ramai dengan kicau burung. Syaira membuka jendela kamarnya. Angin segar menyerbu memasuki kamar. Dia membentangkan kedua tangannya seakan ingin menyambut angin yang menerpa wajahnya. Sebenarnya kota kecil tempat om dan tantenya ini sangat indah. Pemandangannya masih asri. Tidak ada asap knalpot yang mengganggu pernafasan. Jalan raya pun tidak seramai di kota metropolitan. Siapapun yang merasa suntuk dan sumpek dengan kebisingan kota, pasti betah tinggal disini. Tapi karena Syaira masih terluka, jadi dia tidak begitu memperhatikan keindahan lingkungan barunya ini.
Syaira baru selesai mandi ketika terdengar suara Tante Lies menjawab salam dan membuka pintu depan. Setelah selesai berpakaian dan memakai jilbab, ia keluar dan mendapati Tante sedang duduk dengan Afifa.
“ Tuh syaira” ujar Tante lies yang menyadari kehadirannya. “oh hai Syaira, baru mandi ya? Aku kangen haikal, makanya pagi-pagi kemari. Tapi kata tante,  haikal blom bangun.  Lagian aku juga pengen ngobrol ama kamu” celoteh afifa dengan riang. Syaira hanya tersenyum dan duduk di samping Tante Lies. Tante Lies beranjak ke dapur untuk melanjutkan memasak. “ ntar kamu makan disini kan fa?” Tanya Tante. “Iya dong tan, jatah makanku disini belom berkurang kan?” sahut Afifa. Tante lies hanya tertawa kecil. Tinggallah Syaira dan Afifa. Syaira menyadari betapa akrabnya Afifa dengan keluarga tante. Tapi itu bisa di maklumi mengingat Afifa orangnya sangat supel.
“Ntar sore kamu ke taman kan? Barengan ya? Tanya Afifa. “ boleh,” jawab Syaira.
“ Ayo Syaira, Afifa makan dulu” terdengar suara Tante Lies memanggil mereka untuk makan. Kedua gadis itupun beranjak ke ruang makan dan melanjutkan obrolan ringan setelah makan sembari mencuci piring.

Sore itu langit berwarna biru. Semilir angin menerbangkan daun daun kering yang terinjak sepatu Syaira. Syaira membetulkan letak kerudungnya yang sedikit melorot. Dia mengedarkan pandangan sekeliling taman. Tampak beberapa orang sedang melakukan olahraga voli, sepasang orang tua berjalan santai di bebatuan taman, sementara ibu-ibu muda membawakan kereta bayi “ Mana dia? Blom kliatan juga” gumamnya dalam hati sembari duduk. “ doorrr” sebuah suara mengagetkannya.
“Astaghfirullah..Astaghfirullah” Syaira mengusap dada. Afifah tertawa melihat tingkah Syaira yang terkejut. Syaira langsung memukul lengan Afifah yang jahil kepadanya.
 “ Kamu sih kebanyakan ngelamun, jadinya kaget kan?”.
“ Siapa yang ngelamun, aku tadi perhatikan sekitar sini, siapa tau kamu udah nyampe nggak taunya..ughhh”. Syaira masih sebel melihat Afifa yang masih nyengir. Afifa duduk sambil meletakkan tas dan peralatan yang dia bawa. “ Kamu bawa apa tuh?” Tanya Syaira. Afifa mengeluarkan peralatan yang dia bawa yang ternyata adalah kanvas dan bingkai. Dia juga mengeluarkan kuas, cat dan pinsil.
“ oh kamu mau ngelukis ya? Kok nggak bilang kalo kamu pinter ngelukis?”
“ kamu nggak pernah nanya” jawab Afifa cuek sambil mulai mencampur warna di dalam palet. Syaira tersenyum malu mengingat betapa tidak pedulinya dia dengan kehidupan afifa.  Dia tidak pernah bertanya kepada Afifa dan kegiatannya. Afifa mulai mengurat kanvas dengan pinsil dan mulai melukis, Karena tidak ingin menganggu, Syaira mengeluarkan buku yang dibawanya dan mulai membaca.
“ Pulang yuk, udah mau maghrib” Ajak afifa yang sepertinya sudah mulai membereskan peralatan lukisnya. Syaira melihat hasil lukisan afifa, dia melukis anak kecil yang sedang bermain bola dengan latar kolam bunga yang ada di tengah taman itu. Tapi masih belum sempurna.
“ Aku akan menyelesaikan di rumah aja. Entar kamu datang kerumahku untuk melihat hasil akhirnya ya sekalian aku ingin menunjukan padamu lukisanku yang lain”.
” Baiklah” ujar Syaira.
Dan mereka pun segera pulang meninggalkan taman yang sudah mulai sepi.
                                    --------------------------------------------------------
Malamnya ketika Syaira sedang mendengarkan suara lembut Maher Zain dengan Thank you Allahnya, Hpnya berbunyi. Mama nelpon. “Assalamualaikum, Apa kabarmu nak?” Wa’alaikumsalam Baik ma, Alhamdulillah” jawab Syaira. Mendengar suara mama, membuatnya kangen senyum mama, kangen hangatnya pelukan mama.
“ Mama kangen sya, tapi mama tak ingin kamu pulang kalau kamu belum bisa melupakan kejadian itu. Mama hanya ingin kamu menjadi sosok perempuan yang lebih tegar dan bijaksana” ujar Mama.
“Iya ma, Syaira senang disini, om dan tante sangat baik. Syaira juga sering bermain dengan haikal. Syaira juga punya teman baru disini ma, namanya Afifa orangnya seru dan lucu”.
 “Tapi jangan sampai seperti kejadian yang kemarin ya, kamu punya teman yang akhirnya..” tukas mama.
” Engga ma, afifa orangnya baik kok ma, lagian ga semua orang itu sama kan ma?”.
” Iya sayang, mama paham itu, mama hanya takut kamu di manfaatkan lagi oleh orang lain”.
“InsyaAllah ma, sya sudah belajar dari pengalaman dan semoga tak akan terulang kedua kali,”
 “Syukurlah sya, mama senang mendengar kamu sudah bisa lebih bijak sekarang. Semoga luka hatimu cepat sembuh dan kamu bisa kembali ke rumah, sayang lho masakan mama ga ada yang habisin”.
 ” Kan ada papa”. “Duh sya, kamu kan tau sendiri papa nggak boleh makan banyak-banyak, ntar penyakitnya kambuh lagi. Ya sudah, salam buat om dan tante ya, kalo papa punya waktu, mama akan ajak papa tuk liat kamu disana”, “beneran ya ma? Cihuiiii”. Syaira berteriak gembira.
Setelah mengucapkan salam perpisahan, syaira menutup telpon. Telpon dari mama membuat dia senang sekaligus menyisakan pedih. Betapa dia telah membuat sedih dan malu keluarganya.
Adalah Maudy, sahabatnya yang menjadi alasan dia menenangkan diri disini. Maudy yang selalu setia. Kemana-mana mereka selalu berdua, suka dan duka selalu bersama. Bahkan memilih kuliah pun selalu bersama. Dan karena selalu bersama hingga akhirnya sekarang berpisah hanya karena seorang Andre. Andre adalah kekasih Syaira. Namun memilih Maudy untuk menjadi istrinya. Ternyata selama ini mereka diam-diam berhubungan di belakang Syaira. Betapa sakit dan hancurnya hati dan perasaan Syaira mengetahui hal itu. Ditambah lagi mereka sudah menetapkan tanggal pernikahan. Syaira tidak kuat. Syaira tidak sanggup melihat sahabat dan kekasih duduk berdampingan di pelaminan. Dan akhirnya dia memutuskan untuk menenangkan hati dan pikiran di rumah tante lies.
Kejadian itu sudah enam bulan yang lalu, namun masih membekas diingatannya ketika Maudy dan Andre mengantarkan surat undangan pernikahan mereka. Walaupun mereka sudah mengucapkan kata maaf, tapi tetap saja Syaira belum bisa menerima perlakuan mereka kepadanya. Rasa sakit hati itu masih terasa sampai sekarang. Syaira hanya mencoba menata hatinya yang hancur. Masih terbayang betapa malunya Papa dan Mama dengan perlakuan Andre dan Maudy kepada mereka. Tapi Papa dan Mama tetap berusaha tegar dan bijaksana. Beruntung dia punya orang tua yang sangat pengertian, kalau tidak dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa menjalani semua ini.
                                    -------------------------------------------------------
Hari- hari Syaira semakin terasa menyenangkan sejak kehadiran Afifa. Dia juga sudah sering ke rumah Afifa. Dan bunda Alia baik dan ramah. Karena Syaira tidak punya kegiatan. Dia sering menghabiskan waktu di rumah Afifa. Walau Afifa tidak ada, Syaira menemani bunda Alia di rumahnya yang asri. Syaira juga sudah melihat koleksi lukisan Afifa. Namun Syaira heran mengapa setiap lukisan Afifa selalu tidak kelihatan wajah orang yang dilukisnya. Yang terlihat,hanya punggung dari obyek dalam lukisannya. Apapun bentuk dan kegiatan yang ada dalam lukisan itu. Seperti lukisan yang di taman itu, tentang anak-anak yang sedang bermain, tetap tidak terlihat raut wajah obyek yang dilukis. Pernah Syaira menanyakan tentang hal itu, tapi Afifa tak pernah mau menjawabnya. Dia hanya tersenyum bila Syaira menanyakannya lagi.

“Assalamaualaikum” terdengar suara riang afifa membahana sampai kedapur. “halooooo, anybody home?????”
”Wa’alaikumsalam masuk fa, aku lagi didapur ni,” jawab Syaira. “Emang tante lies kemana?”. ”lagi kepasar… Tunggu di kamar aja fa, aku entar lagi selesai kok”.
 “Oke deh” ujar Afifa sambil berlalu kekamar Syaira. Syaira pun kembali membereskan kegiatannya mencuci piring. Setelah selesai, dia pun ke kamar menemui Afifa.
 “Ifa apa yang kau lakukan?” Suara Syaira mengagetkan Afifa yang sedang membaca buku harian Syaira. Syaira lalu merebut buku itu dari tangan afifa. Afifa terpaku dengan reaksi Syaira. Dengan tergagap Afifa mencoba berkata ”maafkan aku sya a..aku tidak bermaksud membaca diarimu. Tadi kulihat buku itu terletak di meja. Aku hanya ingin memindahkannya dan…….”
“Dan kamu ingin membacanya kan? Kamu ingin tahu isinya…apa yang kutulis dan segala yang kucurahkan, iya kan?”. Syaira memotong ucapan Afifa.
“Sya, bukan gitu. Aku hanya…….”.
“Keluar” tukas Syaira. Afifa terhenyak ketika melihat betapa dinginnya sorot mata Syaira. “Sya, maaf……”. Syaira berpaling dan tidak menghiraukan Afifa. Afifa terlihat menyesal. Dia tidak menyangka Syaira begitu marah. Afifa pun pergi meninggalkan Syaira.
Sepeninggal Afifa, Syaira terduduk di tepi tempat tidur, nafasnya memburu menahan emosi yang masih terasa di dada. Dia paling tidak suka barang pribadinya di lihat dan di otak atik oleh orang lain, dan tindakan Afifa sudah kelewat batas. Baginya hal itu sama saja dengan Afifa tidak mempercayainya. Dan dia tidak suka itu. Sejak kejadian dengan Maudy, kepercayaanya kepada orang lain berkurang.
                                                -----------------------------------------------

Hujan mengguyur bumi setelah sekian lama kemarau. Dari balik jendela kamar Syaira menyaksikan titik-titik air hujan membasahi taman bunga Tante lies. “Sepertinya bunga berpesta pora dengan adanya hujan”. Syaira masih bermain-main dengan pikirannya. Tanpa sadar tangannya menulis sesuatu di kaca jendela. Guratan tangan syaira membentuk kata yang sangat dia kenal “Afifa”. Syaira tersadar ternyata dia masih memikirkan sahabatnya itu. Syaira tidak pernah bertemu dengan Afifa lagi semenjak kejadian itu. Dia pun sudah jarang pergi ke taman. Ada rasa rindu ingin mendengar tawa dan ceria gadis berkacamata itu. Tapi egonya mengalahkan semua rasa itu. Syaira masih belum bisa menerima perbuatan Afifa kepadanya. Dan Afifa juga tidak pernah menghubunginya. Bosan juga rasanya tidak ada yang menemani.
Sekarang Syaira hanya lebih sering bermain dengan Haikal dan sesekali membantu Tante Lies merawat kebun bunganya. Tante Lies juga pernah menanyakan kepada Syaira mengapa Afifa tidak pernah datang. Syaira menjawab bahwa Afifa sedang sibuk. Syaira merasa bersalah telah berbohong kepada Tante Lies, tapi dia tidak mau Tante Lies mengetahui perselisihannya denga Afifa.
Ketika hujan sudah reda, Syaira pergi ke toko bunga. Dia bermaksud untuk membeli bunga Anggrek untuk Tante lies, biar taman bunga tante semakin indah dan cantik. Syaira sedang bertanya kepada penjual bunga ketika ada yang menepuk bahunya. Dia menoleh dan didepannya berdiri seorang perempuan paruh baya memakai gamis warna hijau dan jilbab kuning pucat yang serasi. “ eh Bunda Lia apa kabar?” Seru Syaira sembari mencium tangan Bunda Lia. “ Alhamdulillah baik, kamu sedang apa disini?”, “Ini bun, lagi liat bunga. Kali aja ada yang bagus dan bisa dibeli untuk nambah koleksi bunga tante” jawab syaira.
“Wah, pasti Tantemu sangat senang menerimanya”. Kata Bunda Alia. Syaira tersenyum.
“Setelah ini kamu mau kemana Sya?”
“Langsung pulang, emang kenapa bunda”
“Temenin bunda yuk, bunda mau ke apotik”
“Boleh, ntar ya, Sya bayar dulu”
Setelah Syaira selesai membayar bunga yang dibelinya. Bunda Lia mengajak syaira ke apotik untuk mengambil obat pesanannya. “Selamat pagi bunda. Mau ambil obat pesanan bunda ya. Ini dia” Kata penjaga apotik sambil menyerahkan sebuah kota berukuran sedang. “Bagaimana kabar Afifa bunda? Apakah obatnya masih rajin diminum?” Tanya penjaga itu lagi. “Hari ini habis, syukurlah stoknya udah nyampe” , makasih ya” Jawab Bunda Lia dan dia mengajak syaira meninggalkan apotik.
Syaira terkejut ketika mendengar percakapan antara Bunda dan penjaga apotik tadi.
Apa??? Afifa sakit?, kok dia tidak pernah tahu. “Bunda, emang selama ini Afifa sakit apa?” Tanyanya kepada bunda Lia.
Bunda Lia menghentikan langkah dan menatap mata Syaira. Bunda mengajak Syaira ke taman dan mereka memilih duduk di bangku taman. Lama mereka terdiam. Ketika Syaira hendak bertanya kembali, Bunda menghela nafas dan berkata ”Sebenarnya Ifa tidak menginginkan cerita tentang penyakitnya di ketahui semua orang. Tapi karena kau adalah temannya sekarang, bunda ingin kamu juga harus tau ini.”. Syaira melihat kearah Bunda Lia. Bunda melanjutkan ceritanya.
”Dulu, lima tahun yang lalu, Afifa mengalami kecelakaan yang parah. Akibat kecelakaan itu, mata kirinya rusak dan dia buta. Dia hanya bisa memanfaatkan mata kanannya untuk bisa melihat. Tapi dasar Ifa, dia tetap ceria dan seperti tidak pernah merasa keberatan dengan kondisinya yang hanya bisa melihat dengan satu mata saja. Malah yang lebih sering nangis itu bunda, bunda selalu mengeluh kepada Naufal, abangnya tentang Ifa. Tapi Naufal selalu berusaha menyemangati bunda dan dia juga selalu memperhatikan kesehatan adiknya itu”. Bunda terdiam dan menghela nafas.
“Seminggu yang lalu, kami ke tempat Naufal untuk cek mata Ifa. Kamu tau apa kata dokter sya, dokter bilang Afifa akan mengalami kebutaan total karena mata kanannya akan mulai tidak berfungsi lagi”. Bunda Lia sesenggukan.
Syaira terkejut mendengar cerita bunda. Syaira memeluk bunda dan dia juga ikut menangis. Dia bisa membayangkan betapa menderitanya Afifa. Sambil menangis, bunda berusaha berbicara, ”Kalaupun dilakukan operasi pengangkatan mata. Hal itu juga tidak akan membantu. Karena nyawa taruhannya. Dan afifa juga tidak mau. Ifa bilang lebih baik dia buta selamanya daripada harus kehilangan kesempatan hidup..oh ifa, kasian sekali dirimu nak”. Bunda kembali menangis. Syaira memberikan saputangannya dan mengusap air mata di pipi bunda Alia. Dia bisa merasakan kesedihan bunda.
Setelah bunda bisa tenang kembali, dia meninggalkan Syaira yang memilih untuk tetap duduk di taman itu. Syaira merenungi keegoisannya selama ini kepada Afifa. Dia merasa bersalah. Dia ingin meminta maaf kepada sahabat terkasihnya itu. Syaira bergegas pulang untuk mengantar bunga yang baru di belinya dan menyerahkan kepada Tante lies. Tanpa menunggu reaksi Tante Lies, dia langsung pergi menuju rumah Afifa. Syaira mengucap salam, dia melangkah ke kamar Afifa. Disana ada bunda yang sedang memberikan obat kepada Afifa. Afifa melihat Syaira yang datang, “Ayo masuk sya,” Katanya riang seolah-olah selama ini mereka tidak bermusuhan. Syaira dengan canggung mendekati afifa yang terbaring di tempat tidur. Dia melihat sahabatnya itu minum obat yang di berikan bunda. Bunda Alia beranjak pergi setelah Afifa meminum obatnya. “gimana kabarmu sya? Tanya Afifa.  Syaira hanya terdiam melihat Afifa, “ heii, hallo..” Afifa mengguncang tangan Syaira. Syaira tersentak. “ Kok kamu ngeliatin aku seperti itu?” Afifa kembali bertanya. Syaira langsung memeluk Afifa sambil  menangis. Afifa jadi bingung dengan kelakuan Syaira.
“Hei sya, kamu kenapa?”
“Maafkan aku ya fa, selama ini aku sudah salah sama kamu. Aku udah nuduh kamu tanpa mau dengar penjelasan kamu..”. Syaira mengeluarkan uneg-unegnya. Afifa melepaskan pelukan syaira.
“Aku udah maafin kamu kok, aku tau kamu tuh orangnya sensitif dan sangat peka. Aku juga udah tau cerita tentang kamu dari tante lies jauh sebelum kejadian itu. Aku ngerti kok kenapa kamu bersikap seperti itu,“ Syaira mengusap airmatanya
”Udah stop..jangan nangis lagi..jelek tau..ntar bang Naufal nggak mau lagi liat kamu yang cengeng dan mewek kayak gini”. ledek Afifa. “Apaan sih” Syaira tersipu malu mendengar ledekan Afifa. “Ha ha”. Afifa tertawa senang melihat reaksi Syaira.
Naufal, abang Afifa yang kerja di kota lain sekali waktu pernah pulang dan bertemu dengan Syaira. Afifa selalu mengolok Syaira dan berusaha menjodohkan abangnya dengan sahabatnya itu. Naufal sepertinya tidak terganggu dengan aksi adiknya itu. Syaira juga tahu, Naufal sering mencuri pandang kepadanya bila mereka sedang duduk ngobrol bersama Bunda dan afifa. Syaira merasa Naufal ada perhatian kepadanya. Tapi dia belum memikirkan hal itu dulu, dia tidak mau kejadian yang dulu terulang lagi bila dia memulai suatu hubungan. Sekarang dia mengharapakan agar Allah memberikan yang terbaik untuknya. Syaira lalu menatap Afifa yang masih nyengir memandangnya.
“fa, kamu kok nggak pernah cerita tentang penyakitmu? Jangan salahkah bunda kalo aku tau cerita ini dari bunda”. Syaira kembali berbicara ketika melihat Afifa akan membuka mulut untuk berbicara.
“ Kalau kamu tau sya, apakah kamu akan mengasihaniku?” Tanya Afifa
“Aku tak perlu mengasihanimu, kulihat kamu cukup tegar dengan ini semua” Jawab Syaira.
Afifa membetulkan letak kacamatanya. Sambil menatap Syaira, dia berkata.
“Dulu ketika pertama kali aku mendengar vonis dokter, aku tak terima. Tak bisa bayangin jadi buta. Aku sedih, aku marah dan merasa ini semua tidak adil. Aku lari dari rumah sakit padahal aku masih dalam perawatan, lukaku juga belum sembuh. Aku berlari dan menghindar dari bunda dan bang Naufal. Aku tau mereka panik karena tidak menemukanku. Aku tak peduli. Aku terus berlari hingga akhirnya aku sampai di suatu tempat”.
Afifa terdiam, dia bangun dan melangkah kearah jendela, Syaira masih tetap duduk memperhatikan tingkah Afifa. Sambil memandang keluar Afifa melanjutakan ceritanya.
“Disitu aku melihat pemandangan yang mengubah pemikiranku. Aku lihat seorang anak kecil berusia sekitar 8 tahun. Langkahnya pelan dan tertatih dibantu tongkat yang berfungsi sebagai penuntun jalannya. Ternyata dia tidak bisa melihat. Dia tetap bahagia, dia tetap ceria bercanda dengan teman-temanya. Aku baru tahu belakangan kalau semenjak lahir dia sudah buta. Kata orang-orang yang mengenalnya, dia tak pernah mengeluh. Dia hanya tersenyum bila ada yang mengejeknya”. Afifa kembali terdiam, terlihat ada senyum dibibirnya seakan membayangkan pertemuannya dengan gadis kecil itu. Dia kembali duduk di dekat Syaira.
“Pernah kutanyakan padanya tentang bagaimana perasaanya ketika ada yang mengejeknya. Dia menjawab bahwa ayah dan ibunya slalu mengajarkan padanya untuk tidak pernah sakit hati dan membalas perbuatan orang lain. Katanya biar Allah yang membalasnya. Dengan polos dia juga berkata kalau dia lebih baik tidak bisa melihat sehingga dia tak perlu melihat wajah orang yang menghinanya. Duh sya, kau tahu apa yang kurasakan. Sementara aku, Aku malah tidak mau menerima takdirku”. Mata Afifa berkaca-kaca. Syaira mengusap punggung Afifa.
“Sya, sekarang aku tak pernah menyalahkan siapapun dengan kejadian yang ku alami ini, juga aku tidak ingin menyalahkan Tuhan. Karena semua sudah terjadi. Aku juga tidak ingin menyesalinya. Bagiku diberi kesempatan hidup saja itu merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna, walau aku harus kehilangan penglihatan selamanya.” Ada nada optimis di balik kata-kata Afifa.
“Begitu juga dengan kamu sya, kalau emang gak mau ngerasain sakit, jangan jatuh cinta. Jangan bayangkan cinta itu keindahan semata. Jangan maunya resapi wangi bunga mawar tapi durinya tak dihiraukan. Jangan juga berkhayal kisah cinta itu seperti Cinderella atau Putri Salju yang menemukan pangeran impian dan hidup bahagia selamanya. Ada juga kisah cinta yang tragis seperti Romeo dan Juliet atau Khais dan Laila. Bila saat ini cintamu pupus. Yakinlah suatu hari akan hadir cinta baru yang lebih baik. Segalanya tak akan terwujud bila tiada campur tangan dari Allah. Nikmati rasa sakit ini sebagai pengalaman yang paling berharga. percayalah”. Ujar Afifa dengan bijak.
Syaira tergugu mendengar ucapan Afifa. “ Aku beruntung ya sya, punya bunda dan abang yang begitu menyayangiku, dan aku juga beruntung punya sahabat baru sepertimu”. Syaira memeluk Afifa. Sambil mengelus ujung jilbab Syaira, sahabat baiknya itu melanjutkan perkataanya. “Coba kamu bayangkan sya, banyak orang-orang di luar sana yang juga tidak sempurna tapi tetap semangat, banyak orang yang tidak beruntung dalam hidupnya, anak kecil yang kehilangan orang tua tapi dia tetap tegar”.  Afifa melepaskan pelukannya. “ Sya, aku ingin tetap tegar,”. Syaira tersenyum dan menggengam erat tangan Afifa.  “ Kamu pasti bisa fa, aku yakin kamu pasti bisa”. Afifa dan Syaira tersenyum. “ tapi kamu jangan mewek lagi ya sya” goda afifa..” Ifaaa..kamu ini…”. Syaira berteriak gemas. Gelak tawa Afifa membahana melihat sahabatnya itu kembali cemberut.
                                    -------------------------------------------

Sore itu langit indah sekali, Awan putih berarak dilatar bias matahari yang masih menyisakan warna emasnya. Syaira dan Afifa menyusuri jalan setapak di taman itu. Suasana taman masih sama seperti biasa kalau  tidak hujan. Tetap ramai dan banyak orang berolahraga. Ada anak- anak sedang bermain bola di rumput taman.
Syaira menuntun Afifa untuk duduk di bangku taman tempat pertama kali mereka bertemu. Penglihatan afifa mulai kabur. Menurut Dokter yang menanganinya, waktu untuk melihat bagi Afifa hanya tinggal dua bulan lagi. Setelah itu dia akan buta total. Syaira salut dengan Afifa. Dia tetap bisa menerima semua yang terjadi padanya. Kemarin, Afifa menghadiahi sebuah lukisan perempuan berkerudung yang ternyata itu adalah Syaira. Berbeda dengan lukisan-lukisannya terdahulu, Syaira dilukis dengan menampakkan muka keseluruhan. Afifa menjelaskan kenapa dia selalu melukis orang yang terlihat hanya punggungnya saja. Karena dia sudah merasa dia tidak akan bisa melihat lagi, dan dia tidak ingin melukis mata di obyek lukisannya. jadi dia selalu melukis dengan gaya seperti itu. Tapi untuk Syaira, Afifa bersedia melukisnya dengan menampilkan sosok Syaira yang anggun dan cantik. Lagi-lagi Syaira banyak belajar dari seorang Afifa. Afifa yang telah membuka mata hatinya yang selama ini selalu merasa orang yang paling sial dan merana di dunia ini. Dari afifa, dia belajar tentang keikhlasan dan kesabaran.. Syaira merasa menjadi makhluk paling kecil di balik kebesaran hati Afifa.
Afifa pernah berkata padanya kalau dia ingin seperti matahari yang selalu memberikan sinar kehangatan bagi orang-orang yang memerlukan. Dia ingin seperti hujan yang memberikan kesejukan dalam tiap tetesnya dan dia juga ingin seperti pelangi yang memberikan warna keindahan setelah hujan
Syaira bertekad akan selalu mendampingi Afifa. Walau pun dia tahu, Afifa tidak pernah meminta bantuan kepadanya. Tapi dia ingin menjalani hari-hari selanjutnya bersama sahabat terkasihnya itu.
“Kita pulang sya?” suara Afifa lembut di gendang telinganya.
“Ayolah, sudah mulai sepi keliatannya,”.
“Besok kita kesini lagi ya?” Pinta Afifa.
“Sip, kita akan kesini saban sore kalau…,
”Tidak hujan”. Sambung Afifa sambil tertawa. Syaira mencubit hidung Afifa dengan gemas. “Sya, sakit tauu”. Afifa sebel dengan perlakuan syaira. Syaira hanya tersenyum dan dia menarik lembut lengan Afifa dan membantunya berdiri. Mereka bergandengan tangan menyusuri jalan. Syaira yakin, hari-harinya akan berarti di masa datang. Masa lalunya akan dijadikan pengalaman yang tak akan terlupakan. Masa lalu takkan pernah dijadikan penyesalan karena dari situlah introspeksi dimulai. Walau penyesalan selalu datang belakangan. Betapa Allah begitu sayang dengan menghadirkan masa lalu yang semoga dijadikan pelajaran dan berharap tidak akan terulang lagi. Ambil hikmahnya dan terus melangkah karena jalan ini masih panjang.
Dia bersyukur punya pengalaman seperti itu. Karena membuat dia menjadi dewasa dan belajar lebih bijak. Belajar untuk bisa tegar dan belajar punya hati yang penuh lentera seperti Afifa.
                       
                                                SELESAI

Mee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar