Senin, 04 April 2011

Yang ada hanya ADA



Keberadaan tidak muncul dari ketiadaan. Dia hanya datang dari yang ADA. Sebab ketiadaan adalah TIDAK ADA. Yang tidak ada, tak memiliki ADA. Karena tak memiliki, maka tak mungkin bisa mengeluarkan atau memberikan ADA kepada yang lain, bahkan kepada dirinya sendiri. Hanya dari yang ADA -lah munculnya setiap yang ada.


ADA berbeda dengan TIDAK ADA. ADA berlawanan dengan TIDAK ADA. Ada dan tidak ada adalah kontradiksi. Maka ADA mustahil berkumpul/bersatu dengan TIDAK ADA. Maka jelas, yang ada di dalam ADA hanyalah yang ada. Yang TIDAK ADA, tidak akan pernah ada dalam ADA. Dan di dalam TIDAK ADA tidak akan terdapat ADA.

ADA dan ADA tidak berbeda. ADA di dalam semua yang ada adalah sama. Karena yang beda dengan ADA hanyalah TIADA. Sehingga ADA di setiap sesuatu itu tidak memiliki beda, atau sama.
Karena ADA hanya berisi yang ada, maka TIDAK ADA berada diluar ADA. TIDAK ADA adalah tidak ada. Sehingga diluar ADA adalah tidak ada apa-apa. Itulah sebabnya, yang ada hanyalah ADA. ADA tidak akan pernah tidak ada. TIDAK ADA adalah tidak ada. TIDAK ADA takan pernah ada.
Hanya ADA -lah yang dapat memberikan keberadaan. Yang TIDAK ADA mustahil memberikan keberadaan. Kaidah mengatakan bahwa yang tidak memiliki, tidak dapat memberi.

Dari konsep ADA Diatas, dapat di mengerti bahwa semua yang ada di alam ini pasti berawal dari yang ada. Kita berasumsi bahwa semua yang ada ini memiliki awal atau asal adalah karena semua yang ada keluar dari keberadaan. Alam yang ada ini mustahil muncul begitu saja dari ketiadaan. Alam mustahil berasal dari TIDAK ADA. Alam mucul pasti dari ADA. Hal ini dapat membuat kesimpulan: bahwa alam ini berasal dari sesuatu yang ada sebelum alam itu sendiri, atau alam ini adalah yang awal tanpa awalan. Jadi alam inilah sumber ada yang tidak bersumber.
Dengan kesimpulan tersebut dapat dibuktikan bahwa harus ada awal dari yang ada sebagai sumber untuk munculnya setiap keberadaan.
Sumber adalah sesuatu yang tidak memerlukan lagi kepada selainnya. Dialah yang memberi segala keberadaan tanpa Diadakan oleh yang lain. Sumber ADA pasti adalah sesuatu yang paling sempurna, sederhana dan jelas. Sebab yang tidak sempurna memerlukan kepada yang lain untuk sempurna. Jika Sumber tidak sempurna kemuDian menyempurnakan dirinya sendiri, maka hal ini adalah mustahil sebab Sumber yang tidak memiliki sempurna tidak mungkin dapat memberikan/mengeluarkan kesempurnaan, meskipun untuk dirinya sendiri. Apalagi untuk yang selain dirinya. Begitupun, jika sumber tidak sederhana, maka Dia dalah komplek. Sesuatu yang komplek pasti memerlukan kepada setiap bagian yang menyusun kekomplekkannya tersebut. Sebab yang komplek adalah susunan dari yang tidak komplek. Maka semakin komplek sesuatu pasti Dia semakin memerlukan. Dan semakin sederhana sesuatu, semakin tidak memerlukan. Sesuatu yang paling sederhanalah yang tidak memerlukan kepada yang lain. Sesuatu yang paling sederhana itulah sebagai sumber segala sesuatu yang memiliki kebutuhan selain dirinya. Sesuatu yang tidak jelas pasti memerlukan penjelas. Maka sesuatu yang jelaslah sebagai sumber kejelasan terhadap semua yang ada selain dirinya.
Jika alam ini katakanlah sebagai sumber ada, maka dapat dipastikan hal itu adalah salah. Sebab ternyata alam ini adalah sesuatu yang sangat komplek. Karena sangat komplek, maka tentunya alam ini sangat membutuhkan kepada penyusunnya. Karena alam membutuhkan kepada selainnya, maka artinya Dia tidak sempurna. Sesuatu yang tidak sepurna tidak memiliki kesempurnaan. Karena alam tidak memiliki sempurna, maka mustahil alam dapat memberikan kesempurnaan kepada dirinya. Karena tidak memilik sempurna, alam memerlukan sesuatu yang sempurna untuk menyempurnakan dirinya. Sesuatu yang sempurna itulah yang menjadi sumber segalanya. Bukan alam.
Ketika kita merunut realitas yang ada di alam ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ada tingkat kompleksitas, kebutuhan, kesempurnaan, kejelasan dan kesederhanaan. Dari yang paling komplek, paling butuh, paling tidak sempurna dan paling tidak jelas sampai kepada yang paling sederhana, paling tidak butuh, paling sempurna dan paling jelas keberadaannya.
Kita mengatakan sesuatu yang paling sempurna dengan sebutan TUHAN. Kita sebut yang paling dengan MAHA. Maka Tuhan-lah DZAT YANG MAHA sempurna. Demikian juga berarti Tuhan-lah yang maha kaya, maha sederhana dan maha jelas. Dia-lah yang maha ada. Dialah sebagai sumber ada, tanpa perlu Diadakan oleh yang lain. Dia-lah yang memberi keberadaan kepada semua yang ada selain dirinya. Tuhan memiliki ada, maka Dia ada dengan sendirinya. Adanya Tuhan tidak berarti Dia berawal. Sebab yang berawal pasti asalnya tidak ada. Sementara Tuhan adalah yang ada sejak awal tanpa awalan, maka mustahil Dia memiliki asal. Dia-lah yang awal tanpa berawal. Tuhan adalah dzat yang maha ada, maka mustahil Dia akan lenyap/tiada. Artinya Tuhan tidak akan pernah memiliki akhir. Dia-lah yang akhir tanpa berakhir.
Tuhan adalah yang paling sederhana. Dia sebagai dzat yang tidak tersusun dari bagian-bagian apapun. Di-lah yang tunggal, dan maha tungggal.
Sesuatu yang sederhana adalah sangat jelas dan mudah dipahami serta mudah diketahui. Tuhan sebagai yang paling sederhana, maka Dia adalah sangat jelas keberadaannya. Sangat mudah dipahami dan mudah diketahui.
Ada pada Tuhan sama dengan ada pada selainnya. Sebab ada pada segala sesuatu tidak memiliki beda, karena yang beda dengan ada adalah tidak ada. Yang beda antara Tuhan dan selainnya adalah keadaannya (keapaan), bukan ke-ada-annya.
Sifat sempurna
Tuhan mesti menyandang semua sifat kesempurnaan. Yang dimaksud sifat kesempurnaan adalah semua sifat yang nilai oleh manusia sebagai tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Bahkan kesempurnaan Tuhan adalah jauh lebih sempurna daripada apa yang disempurnakan oleh manusia. Seperti, kekayaan adalah kesempurnaan, maka Tuhan pasti harus kaya. Kaya-nya Tuhan adalah lebih kaya dari apa yang dibayangkan oleh manusia.
Sifat tidak terbatas
Dengan niscayanya Tuhan bersifat sempurna, maka pasti Dia tidak terbatas. Sebab jika terbatas Dia akan memiiki batasan. Sementara batasan adalah ciri dari ketidak-sempurnaan. Jika Dia terbatas, maka pada suatu keadaan Dia akan habis kesempurnaanNya pada batasanNya. Jadi Tuhan niscaya menyandang sifat yang tidak terbatas. Baik Jumlah sifatNya maupun fahaman tentang sifatNya pasti tidak terbatas. Yang terbatas adalah pengenalan manusia terhadap jumlah dan fahaman tentang sifat tersebut. Artinya Tuhan tidak memiliki essensi (batasan).
Sifat tidak butuh
Tuhan tidak memiliki sifat butuh terhadpa apapun. Dialah yang memililiki apapun. Kepemilikannya adah sempurna dan tidak terbatas, maka pasti Dia tidak akan pernah membutuhkan apapun selainNya. Dia sebagai sebab mustahil membutuhkan kepada akibat. Sementara yang dimaksud akibat adalah semua selain diriNya
.
Sifat sederhana
Dengan kesempurnaan Tuhan dan ketidak butuhanNya kepada selain diriNya, pasti Dia adalah yang paling sederhana. Sebab yang sederhana tidak membutuhkan bagian-bagian untuk menyusunnya. Sesuatu semakin membutuhkan kepada penyusunnya (selainnya) jika dia semakin komplek. Jadi semakin komplek sesuatu, maka semakin butuhlah dia kepada selainnya.
Sifat tunggal
Tuhan yang maha sederhana meniscayakan kepada ketunggalanNya. Sederhana Tuhan adalah tidak membutuhkan kepada kekomplekkan penyusunnya. Artinya, Tuhan adalah Dzat yang Tunggal. Tuhan bukan satu kesatuan. Sebab satu kesatuan adalah susunan dari beberapa unsur pembentuk satu tersebut. Sementara Tuhan tidak membutuhkan kepada apapun selainNya. Maka jelas bahwa Tuhan adalah Tunggal.
Sifat terang
Sesuatu yang sederhana akan sangat jelas keberadaannya. Dia tidak tersembunyi dari apapun untuk diketahui. Dengan kesederhaannya, maka untuk mengetahui sesuatu itu tidak usah melalui lapisan-lapisan yang menyelimutinya. Sebab Dia tunggal. Itulah Tuhan. Karena Dia tunggal dan sederhana, maka Dialah yang maha jelas dan maha terang (Maha Dhahir). Tapi ke-jelas-an Tuhan tidak akan pernah dapat dibatasi atau dijangkau oleh indera dan pahaman apapun. Dialah yang maha tersembunyi (Maha Bathin). Pahaman hanya berusaha mendekatinya untuk mengenalNya. Sementara indera tidak akan bernah dapat menembusNya. Baik sekarang maupun nanti, indera tidak akan pernah dapat menangkap Tuhan. Jadi manusia tidak akan pernah melihat Tuhan dengan inderanya, meskipun di akherat. Karena jika Tuhan tidak dapat dilihat di dunia sekarang namun dapat dilihat di akherat nanti, artinya bahwa Tuhan ketika di dunia ini tidak terbats dan ketika dii akherat nanti menjadi terbatas. Sementara Tuhan adalah Dzat yang tidak terbatas sampai kapanpun. Sebab Tuhan tidak dibatasi waktu dan tempat. Dialah yang maha jelas untuk diketahui. Dari kejelasannya itulah Dia memberi kejelasan kepada selainNya untuk diketahui. Dialah yang maha terang tanpa perlu penerang. Dialah yang maha ada sebagi sumber penerang keberadaan yang lain. Ibarat lampu terang, Dia tidak perlu memakai penerang lain untuk diketahui. Sebab sumber terangnya adalah lampu itu sendiri. Meski tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan ibarat untuknya. Sebab ibarat sama sama dengan penyamaan.
Sifat dzat
Dari semua sifat-sfat yang disandarkan kepada Tuhan dapat dibedakan kepada dua sifat. Yaitu sifat Dzatiyah (dzat) dan Fi’liyah (perbuatan). Sifat Dzatiyah Tuhan adalah sifat yang merupakan hakikat Tuhan itu sendiri. SifatNya adalah DzatNya. Itulah sifat Dzatiyah. Sifat Tuhan bukan sesuatu di luar Tuhan, Dia adalah Dia. Jika sifat Tuhan bukan Hakikat Tuhan itu sendiri, maka sifat Tuhan adalah makhluk. Sementara mustahil Tuhan membutuhkan kepada sifat yang merupakan makhlukNya. Jadi sifat dzatiyah adalah sifat yang merupakan hakikat dari Tuhn itu sendiri. Sifat ini muncul langsung dariNya, tanpa melalui perantara sesuatu yang lain untuk memunculkannya. Contoh sifat Dzatiyah yaitu sifat Hidup, Kaya, Ilmu, Kuasa, dll.
Sifat perbuatan
Sedangkan sifat Fi’liyah adalah sifat yang muncul dan disandarkan kepada Tuhan setelah ada yang lain. Sifat ini baru ada pada Tuhan setelah ada yang lain. Contoh: sifat Pengasih, sifat ini muncul setelah ada yang dikasihi olehNya, yakni makhluk. Sifat Pengampun, muncul setelah ada yang DiampuniNya. Sifat Pemberi Rizki muncul ketika ada yang diberi rizki. Jadi kemunculan sifat fi’liyah selalu dikaitkan terlebih dahulu kepada makhlukNya. Sementara sifat dzatiyah tidak demikian. Namun, semua sifat fi’liyah dapat ditarik kembali kepada sifat dzatiyah. Pokok atau hakikat dari semua sifat fi’liyah adalah sifat dzatiyah. Seperti sifat Pemberi Rizki, sifat ini dikembalikan kepada sifat Kaya. Sifat Pengampun kembali kepada sifat Kuasa. Sifat Pengasih kembali kepada sifat Hidup, dll.
Tunggal sifat
Jika seluruh sifat fi’liyah Tuhan hakikatnya adalah sifat dzatiyah Tuhan, dan sifat dzatiyah Tuhan adalah hakikat dari Tuhan sendiri, maka hakikat dari semua sifat Tuhan adalah Tuhan itu sendiri. Sementara hakikat Tuhan adalah Tunggal. Dia tidak tersusun dari bagian-bagian yang menjadi unsurnya. Jadi, semua sifat Tuhan bukanlah unsur-unsur penyusun dari Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua sifat Tuhan satu sama lainnya adalah sama. Sifat Hidup sama dengan Kaya, Kaya sama dengan Kuasa, Kuasa sama dengan Ilmu, dan seterusnya. Termasuk sifat fi’liyah Tuhan. Jadi, semua sifat tuhan adalah sama. Sebab jika beda, maka sifat-sifat itu adalah penyusun Tuhan. Penyusun adalah sesuatu selain Tuhan. Sesuatu selain Tuhan berarti makhluk. Artinya, sifat-sifat Tuhan adalah makhluk. Ini adalah mustahil, bahwa Tuhan memerlukan penyusun dari makhluk. Artinya, bahwa sifat Tuhan itu sebenarnya Tuhan itu sendiri. Sifat Tuhan hakikatnya Tuhan. Yang ada hanyalah Tuhan. sehingga Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa sempurnanya tauhid adalah meniadakan sifat bagi Tuhan.
Meniadakan sifat
“Awal agama adalah mengetahuiNya. Kesempurnaan mengetahuiNya adalah membenarkanNya. Kesempurnaan men-tashdiq-anNya adalah mentauhidkanNya. Kesempurnaan mentauhidkanNya adalah ikhlash padaNya. Kesempurnaan ikhlash padaNya adalah menafikan sifat-sifat padaNya. Karena setiap sifat membuktikan bahwa ia bukan yang disifati. Dan setiap yang disifati membuktikan bahwa ia bukan sifat. Barang siapa yang mensifati Allah, maka ia telah memberikan pasanganNya. Barang siapa memberikan pasanganNya, maka ia telah menduakanNya. Barang siapa menduakanNya, maka ia telah membagiNya. Barang siapa membagiNya, maka ia tidak mengetahuiNya. Barang siapa tidak mengetahuiNya, maka ia telah mengisyaratkanNya. Barang siapa mengisyaratkanNya, maka ia telah membatasiNya. Barang siapa membatasiNya, maka ia telah menghitungNya”
(Imam Ali bin Abi Thalib).

sumber: kalamunida.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar