Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
[1]. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tdk puasa, kita tdk lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yg Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayg berfirman.
“Arti : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi berpuasa) sebanyak hari yg ditinggalkan itu, pada hari yg lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tdk menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]
Hamzah bin Amr Al-Aslami berta kpd Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?” -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Arti : Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yg puasa tdk mencela yg berbuka dan yg berbuka tdk mencela yg berpuasa” [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118]
Hadits-hadits ini menunjukkan boleh memilih, tdk menentukan mana yg afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yg afdah ialah berbuka berdasarkan hadits-hadits yg umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Arti : Sesungguh Allah menyukai didatangi rukhsah yg diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yg melakukan maksiat” [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dgn sanad yg Shahih]
Dalam riwayat lain disebutkan :
“Arti : Sebagaimana Allah menyukai diamalkan perkara-perkara yg diwajibkan” [1]
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yg tdk merasa berat dalam mengqadha’ dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tdk melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dgn gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu.
“Para sahabat berpendpt barangsiapa yg merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yg merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)” [2]
Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguh puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini ialah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
“Arti : Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar” [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir]
Peringatan :
Sebagian orang ada yg menygka bahwa pada zaman kita sekarang ini tdk diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yg) mencela orang yg mengambil rukhsah tersebut, atau berpendpt bahwa puasa itu lebih baik krn mudah dan banyak sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kpd firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata :
“Arti : Dan tdklah Tuhanmu lupa” [Maryam : 64]
Dan juga firman-Nya.
“Allah mengetahui sedangkan kamu tdk mengetahui” [Al-Baqarah : 232]
Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar.
“Arti : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tdk menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]
Yakni, kemudahan bagi orang yg safar ialah perkara yg diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syar’iat. Cukup bagimu bahwa Dzat yg mensyari’atkan agama ini ialah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yg bermanfaat bagi mereka. Allah berfirman.
“Arti : Apakah Allah Yang Menciptakan itu tdk mengetahui (yg kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?” [Al-Mulk : 14]
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tdk ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yg mukmin yg tdk mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya.
“Arti : Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo’a) : “Ampunilah kami yg Tuhan kami dan kpd Engkau-lah tempat kembali” [Al-Baqarah : 285]
[2]. Sakit
Allah membolehkan orang yg sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yg sakit tersebut. Sakit yg membolehkan berbuka ialah sakit yg apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakit atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a’alam
[3]. Haid dan Nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yg haid dan nifas tdk dihalalkan berpuasa, kedua hrs berbuka dan mengqadha, kalaupun kedua puasa (maka puasanya) tdk sah. Akan datang penjelasannya, insya Allah.
[4]. Kakek dan Nenek Yang Sudah Lanjut Usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Kakek dan nenek yg lanjut usia, yg tdk mampu puasa hrs memberi makan setiap hari seorang miskin”[3]
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat :
“Arti : Orang-orang yg tdk mampu puasa hrs mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin” [Al-Baqarah : 184]
Kemudian beliau berkata : “Yakni lelaki tua yg tdk mampu puasa dan kemudian berbuka, hrs memberi makan seorang miskin setiap hari 1/2 gantang gandum” [Lihat ta’liq barusan]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
“Arti : Barangsiapa yg mencapai usia lanjut dan tdk mampu puasa Ramadhan, hrs mengeluarkan setiap hari satu mud gandum” [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanad ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi pu syahid]
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tdk mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau memuntuk satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyg. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanad Shahih]
[5]. Wanita Hamil dan Menyusui
Di antara rahmat Allah yg agung kpd hamba-hamba-Nya yg lemah ialah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka ialah wanita hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik [4], ia berkata :
“Kuda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, “Mendekatlah, aku akan ceritakan kpdmu tentang masalah puasa. Sesungguh Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa”. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengucapkan kedua atau salah satunya. Aduhai sesal jiwaku, kenapa aku tdk (mau) makan makanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa’i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687. Sanad Hasan sebagaimana pernyataan Tirmidzi]
[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dgn sanad yg Shahih. Dalam hadits -dgn dua lafadz ini- ada pembicaraan yg panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya
[2]. Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanad Shahih walaupun dalam sanad ada Al-Jurairi, riwayat Abul A’la dari termasuk riwayat yg paling Shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.
[3]. Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma’ no. 129 akan ada ijma (kesepakatan) dalam masalah ini.
[4]. Dia ialah Al-Ka’bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ia ialah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka’ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau ha meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1116&bagian=0
Sumber Allah Menghendaki Kemudahan Dan Tidak Menghendaki Kesukaran Bagimu : http://alsofwah.or.id
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
[1]. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tdk puasa, kita tdk lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yg Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayg berfirman.
“Arti : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi berpuasa) sebanyak hari yg ditinggalkan itu, pada hari yg lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tdk menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]
Hamzah bin Amr Al-Aslami berta kpd Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?” -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Arti : Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yg puasa tdk mencela yg berbuka dan yg berbuka tdk mencela yg berpuasa” [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118]
Hadits-hadits ini menunjukkan boleh memilih, tdk menentukan mana yg afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yg afdah ialah berbuka berdasarkan hadits-hadits yg umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Arti : Sesungguh Allah menyukai didatangi rukhsah yg diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yg melakukan maksiat” [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dgn sanad yg Shahih]
Dalam riwayat lain disebutkan :
“Arti : Sebagaimana Allah menyukai diamalkan perkara-perkara yg diwajibkan” [1]
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yg tdk merasa berat dalam mengqadha’ dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tdk melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dgn gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu.
“Para sahabat berpendpt barangsiapa yg merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yg merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)” [2]
Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguh puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini ialah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
“Arti : Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar” [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir]
Peringatan :
Sebagian orang ada yg menygka bahwa pada zaman kita sekarang ini tdk diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yg) mencela orang yg mengambil rukhsah tersebut, atau berpendpt bahwa puasa itu lebih baik krn mudah dan banyak sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kpd firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata :
“Arti : Dan tdklah Tuhanmu lupa” [Maryam : 64]
Dan juga firman-Nya.
“Allah mengetahui sedangkan kamu tdk mengetahui” [Al-Baqarah : 232]
Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar.
“Arti : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tdk menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]
Yakni, kemudahan bagi orang yg safar ialah perkara yg diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syar’iat. Cukup bagimu bahwa Dzat yg mensyari’atkan agama ini ialah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yg bermanfaat bagi mereka. Allah berfirman.
“Arti : Apakah Allah Yang Menciptakan itu tdk mengetahui (yg kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?” [Al-Mulk : 14]
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tdk ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yg mukmin yg tdk mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya.
“Arti : Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo’a) : “Ampunilah kami yg Tuhan kami dan kpd Engkau-lah tempat kembali” [Al-Baqarah : 285]
[2]. Sakit
Allah membolehkan orang yg sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yg sakit tersebut. Sakit yg membolehkan berbuka ialah sakit yg apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakit atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a’alam
[3]. Haid dan Nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yg haid dan nifas tdk dihalalkan berpuasa, kedua hrs berbuka dan mengqadha, kalaupun kedua puasa (maka puasanya) tdk sah. Akan datang penjelasannya, insya Allah.
[4]. Kakek dan Nenek Yang Sudah Lanjut Usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Kakek dan nenek yg lanjut usia, yg tdk mampu puasa hrs memberi makan setiap hari seorang miskin”[3]
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat :
“Arti : Orang-orang yg tdk mampu puasa hrs mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin” [Al-Baqarah : 184]
Kemudian beliau berkata : “Yakni lelaki tua yg tdk mampu puasa dan kemudian berbuka, hrs memberi makan seorang miskin setiap hari 1/2 gantang gandum” [Lihat ta’liq barusan]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
“Arti : Barangsiapa yg mencapai usia lanjut dan tdk mampu puasa Ramadhan, hrs mengeluarkan setiap hari satu mud gandum” [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanad ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi pu syahid]
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tdk mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau memuntuk satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyg. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanad Shahih]
[5]. Wanita Hamil dan Menyusui
Di antara rahmat Allah yg agung kpd hamba-hamba-Nya yg lemah ialah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka ialah wanita hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik [4], ia berkata :
“Kuda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, “Mendekatlah, aku akan ceritakan kpdmu tentang masalah puasa. Sesungguh Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa”. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengucapkan kedua atau salah satunya. Aduhai sesal jiwaku, kenapa aku tdk (mau) makan makanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa’i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687. Sanad Hasan sebagaimana pernyataan Tirmidzi]
[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dgn sanad yg Shahih. Dalam hadits -dgn dua lafadz ini- ada pembicaraan yg panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya
[2]. Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanad Shahih walaupun dalam sanad ada Al-Jurairi, riwayat Abul A’la dari termasuk riwayat yg paling Shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.
[3]. Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma’ no. 129 akan ada ijma (kesepakatan) dalam masalah ini.
[4]. Dia ialah Al-Ka’bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ia ialah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka’ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau ha meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1116&bagian=0
Sumber Allah Menghendaki Kemudahan Dan Tidak Menghendaki Kesukaran Bagimu : http://alsofwah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar