Mengenal Filsafat
Sebenarnya, pemikiran filsafat, timbul bersamaan dengan adanya manusia itu sendiri. Karena berfikir, merupakan kekhususan bagi manusia dan merupakan pembeda dari yang lainnya. Namun, sejarah tidak memastikan kepada kita tentang hal-ihwal mereka di masa lampau. Kecuali merupakan perkiraan dari para ahli sejarah lewat penyelidikan atas peninggalan-peninggalan ummat masa lampau tersebut. Karena peninggalan tertulis yang menggambarkan cara berfikir mereka tidak dapat ditemukan lantaran belum adanya tulisan di masa itu.
Bagi orang yang mengimani al-Qur an, tidak sulit untuk mengetahui keadaan dan corak berfikir mereka. Seperti permintaan umat Nabi Musa as., yang meminta kepada beliau untuk meminta kepada Allah agar memperlihatkan Diri kepada mereka–perminaan ini dikarenakan keterbelakangan pemikiran falsafi mereka seperti halnya orang-orang Barat yang mulhid/matrealis di jaman modern ini. Metode dan cara berfikir umat Bani Israel tadi sangat mirip dengan metode filsafat Tajribi—experiment—yang pada abad ke-16 dipelopori oleh Descartes—dari perancis—dan Bacon—dari Inggris. Mereka berkata bahwa yang tidak bisa dilihat tidak bisa diteliti (experimen) dan yang tidak bisa dieksperimen tidak akan diketahui, serta yang tidak bisa diketahui adalah tidak mempunyai eksistensi. Pada masa–masa umat terdahulu pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang dipahami dari agama atau kepercayaan sesuai dengan tingkatan nalar mereka.
Pemikiran filsafat yang hampir murni—dikatakan oleh para ahli sejarah filsafat—sekitar 600 tahun sebelum Masehi di Yunani. Para ahli sejarah itu juga menyebutkan nama-nama mereka dan pikiran-pikiran mereka tentang wujud dan mula-akhir dari alam semesta. Tentu pada tahap ini mereka masih dipengaruhi—walaupun tidak banyak—oleh kepercayaan agamis.
Munculnya Shophist
Walaupun pemikiran filsafat sudah agak murni pada abad ke-6 sebelum Masehi tersebut, namun metode mereka masih jauh dari keteraturan dan kesempurnaan. Pengelompokan pembahasan belum ada, dan setiap pemikiran—secara universal—cukup disebut dengan ilmu, pengetahuan, hikmah dan lain-lainnya.
Seratus tahun kemudian—dalam tarikh—disebutkan bahwa timbul aliran baru yang disebut SHOPHIST (bahasa Yunani) yang berarti alim atau hakim. Satu hal yang paling menonjol dari mereka adalah pengingkaran mereka terhadap ilmu pengetahuan.
Mereka menyakini bahwa akal manusia tidak bisa mengetahui hakekat sesuatu. Apa yang kita lihat, dengar dan lain-lainnya bukan menggambarkan kenyataan yang ada (sebenarnya). Akhirnya semua informasi yang kita dapat (punya) dari panca indra—yang disebut dengan ilmu panca indra; lihat ringkasan logika bab ilmu—tidak benar. Dengan demikian pemikiran kita karena merupakan pengolahan dari informasi-informasi yang didapat melewati panca indra—tidak dapat menghasilkan kebenaran.
Mereka mendirikan tempat-tempat pendidikan, mereka ajarkan metode khithobah—berbicara, berpidato, rethoric—dan metode analisa, namun mereka tidak bisa lepas dari mughalatah (shophistical refutations) artinya memberikan argumen yang tidak benar tapi menginginkan kebenaran hasilnya, yang merupakan kebiasaan mereka. Guru kami memperkirakan bahwa sebab dari pengingkaran shophist ini terhadap informasi atau pengetahuan manusia adalah karena kebiasaan mereka menggunakan mughalatoh dalam setiap pembahasan dan analisa mereka. Dengan kebiasaan itulah pada akhirnya shophist yang bermakna alim atau hakim berubah makna menjadi Metode Mughalathah.
Socrates
Filosof yang paling gigih menentang golongan shophist tersebut adalah Socrates. Dia tidak mau dikatakan shophist (alim atau hakim). Dia menamakan dirinya dengan Filasufus atau filusufiya[1]. Fila atau Filu artinya pencipta, sedang Sufus atau Sufiya artinya ilmu atau hikmah. Jadi Filusufus/Filusufiya artinya pencipta ilmu. Kata-kata inilah yang kemudian menjadi Filusuf. Plato sendiri menyebut Socrates sebagai filusufis (pencipta ilmu)[2].
Ada beberapa penafsiran mengapa Socrates tidak menamakan dirinya sebagai Shophist[3].
1. Karena ketawadhuannya, yang mana ia selalu mengakui kekurangannya.
2. Ketidakinginan dia digolongkan pada mereka yang mengaku Shophist, tapi menyimpang dari kebenaran—karena mughalatoh mereka.
3. Peringatan kepada golongan Shophist, bahwa mereka sebenarnya tidak berhak menyandang pangkat Shophist tersebut, karena mereka melakukan semua itu dengan tujuan materi dan politik. Juga seakan-akan ia ingin mengatakan pada mereka bahwasanya ia sendiri yang dapat membatalkan dalil-dalil khayalan mereka dengan dalil/argumen yang tidak dapat ditolak, itupun tidak melihat dirinya sebagai hakim (alim). Bahkan melihat dirinya sebagai pencipta ilmu (hikmah).
Berakhirnya Filsafat Yunani
Setelah Socrates—yang agung—muncullah filusuf besar lainnya. Diantara mereka yang sangat terkenal adalah Aristoteles dan Plato. Murid-murid dari keduanya, sibuk mengumpulkan, mengatur dan mensyarahi pikiran-pikiran mereka. Begitulah ilmu filsafat menjadi sangat laris di masyarakat Yunani. Tapi tidak beberapa lama barang laris itu menjadi barang yang tidak laku lagi di masyarakat
Akhirnya orang-orang cerdik pandai hijrah ke Iskandaria, salah satu kota di Mesir, dan menjadikannya tempat mengajar serta penelitian. Demikianlah akhirnya Mesir menjadi pusat ilmu pengetahuan sampai pada abad ke-4 Masehi.
Setelah imperator Rum mengimani agama Nasrani dan menjadikannya agama resmi negara, maka terbukalah peluang bagi ilmu pengetahuan. Sehingga keluarlah perintah bagi penutupan sekolah-sekolah keilmuan dan keilmiyahan di Atsina dan Iskandaria oleh penguasa Romawi Timur (Justaniyan) pada tahun 593 Masehi. Perintah itu menjadi penyebab keilmuan di Iskandaria tersebut menjadi pudar dengan larinya para cerdik pandai ke tempat-tempat lain, demi menyelamatkan jiwa mereka
Munculnya Islam
Pada abad ke-6 Masehi, di tempat lain di bumi tandus Arab, lahirlah seorang yang sangat agung dan mulia. Orang mulia dan agung tersebuat adalah Nabi Muhammad Saww. Beliau beserta para Imam as menjadi pembina perubah kebudayaan jahiliyah Arab dan non-Arab kepada kebudayaan Islami.
Disamping hal-hal lain, keilmuan merupakan salah satu kebudayaan yang mendapat perhatian khusus dalam Islam.
“Bacalah, dengan nama Tuhanmu ! ….. yang mengajari dengan pena”.
Merupakan firman pertama yang Allah turunkan. Menunjukkan betapa Allah memperhatikan keilmuan. Dengan Iqra’ (bacalah), ‘Allama (mengajari) dan Qalam (pena) yang diturunkan sebagai perintah dan khabar pertama, tentang sifat dan kesukaan Allah, menunjukkan betapa Allah memperhatikan keilmuan pada hambanya. Ia menempatkan, dengan ayat itu, pengajaran, membaca dan pena pada tempat yang sangat tinggi dan terpuji.
Rasulullah Saww sendiri–yang tidak berbicara kecuali wahyu[4]–menjadi pelopor pertama dalam masalah ini seraya bersabda, “Carilah ilmu sejak dari pangkuan ibu sampai liang kubur” atau “Carilah ilmu walau ke negri Cina” dan lain-lainnya.
Begitu pula al-Quran berturut-turut memberikan pacuan agar manusia berlomba-lomba mencari ilmu.
“Hanyalah orang-orang yang berilmu yang takut kepada Allah” (Q.s. al-Fathir: 28).
“Dan tidak tahu takwilnya (al-Quran) kecuali Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang berilmu” (Q.s. al-Imran: 7).
Kemudian para Imam pengganti Rasulullah Saww—yang tidak berbicara kecuali bersifat qurani dan sunnat—meneruskan tugas Rasulullah Saww sebagai pemimpin umat.
Dalam masalah keilmuan ini ratusan hadits keluar dari mereka demi pembentukan umat menuju kecemerlangan ilmiah. Mengenai keilmuan ini terdapat pengajaran dari Imam Ali bin Abi Thalib as kepada ummatnya, yang berhubungan dengan teologi dan filsafat:
“Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tak dapat diuraikan oleh para pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para penghitung, yang hak-hak-Nya (atas ketaatan) tak dapat dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha menaati-Nya; orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelam pengertian tak dapat mencapai-Nya; la yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. la mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu.
Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.
Barangsiapa mengatakan “dalam apa la berada”, (berarti) ia berpendapat bahwa la bertempat, dan barangsiapa mengatakan “di atas apa la berada” maka ia beranggapan bahwa la tidak berada di atas sesuatu lainnya.
la Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. la ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. la bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. la berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. la berbuat tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat. la melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. la hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya la mungkin bersekutu atau yang mungkin la akan kehilangan karena ketiadaannya.”[5]
Demikianlah Rasulullah saww dan para Imam—keselamatan atas mereka—membimbing, mengajari serta mengarahkan umat ini pada suatu kemajuan ilmu. Tentu, karena mereka setiap berbicara dengan suatu umat sesuai dengan kemampuan berfikir mereka. Rasulullah Saww dan para Imam memakai bahasa cara bahasa al-Quran, yaitu bahasa yang bisa dipahami oleh setiap tingkatan pemikiran dan keilmuan di masa itu atau mendatang.
Imam Ja’far diq as berkata, “Al-Quran mempunyai 70 batin, dan setiap batin mempunyai 70 batin yang lain”.
Akhirnya jerih payah mereka—walaupun bayak yang tidak memanfaatkannya—dapat kita lihat hasilnya. Dengan munculnya tokoh-tokoh filosof muslim saperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Nashiruddin Thusi, Sayyid Shahruddin Dastaqi, Syeh Baha’I, Mir Damad dan Shahruddin Syirazi atau Mulla Shadra—yang terkenal dengan Asfar Al-Arba’ah-nya.
[1] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Omozesy Falsafah .
[2] Syahrusytani , Milal wan Nihal, jil. 2, hal. 23; Dr Houmen ,Tarikh Falsafah, jil. 1, hal. 20.
[3] Dr Houmen jilid, Tarikh Falsafah , jil. 1, hal 169.
[4] Wahyu ada dua macam: 1) Makna dan lafadznya dari Allah, berupa al Qur an dan hadits qudsi. 2) Makna dari Allah, tapi lafadz dari Rasulullah saww. Berupa percakapan dan perbuatan Rasulullah saww.
[5] Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj Al-Balaghah, khutbah pertama Imam Ali bin Abi Thalib as, jil. 1, hal. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar