Kebenaran
Definisi Kebenaran
Di antara kita tentu pernah mengatakan kata “kebenaran” atau bertanya-tanya tentangnya. Adakah kebenaran di dunia ini? Apa yang terjadi dan harus di lakukan jika ada banyak “klaim kebenaran”? Tidakkah kebenaran itu satu saja? apakah ia secara pasti dibutuhkan manusia? Bagaimana kita bisa memenuhi atau mencapai kebenaran?
Disadari atau tidak memang kata ini memiliki arti penting dalam hidup seseorang, bahkan semua orang. Penting karena untuk mengejar tujuan hidupnya, suatu kebenaran akan dijadikan sebagai petunjuk bagi setiap orang dlm melakukan tindakan sadarnya.
Kebenaran secara sederhana dapat diartikan dengan adanya kesesuaian persepsi dalam benak (seseorang) dengan realitas/kondisi yang nyata. Misalnya, perkataan seseorang dapat dikatakan benar bila ada kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Bila ada ketidaksesuaian, maka orang tersebut dikatakan berbohong. Orang yang berbohong artinya dia tidak mengatakan kebenaran.
Kebenaran hanya dapat ditutupi oleh dua hal;Pertama kebodohan atau kebelumtahuan, Kedua hawa nafsu atau interest pribadi.
Kebodohan atau kebelumtahuan menyebabkan orang melihat hanya sebagian saja dari suatu pengetahuan. Ketika seseorang hanya mengetahui sebagian saja dari hakikat sesuatu, maka kebenaran yang dipahaminya akan menjadi sebagian (parsial) juga atau disebut belum sempura/mutlak. Sementara hawa nafsu atau ego pribadi akan membuat seseorang menutup-nutupi kebenaran itu demi memenuhi keinginan ego, gengsi atau kepentingan pribadinya. Ketika manusia sudah mau dan mampu menghilangkan segala kebodohan/ kebelumtahuan dan mengendalikan hawa nafsunya, maka dia akan dengan segera mendapatkan cahaya terang dari kebenaran. Inilah sebenarnya yang menjadi misi manusia di dunia, mencapai kebenaran sejati, menuju suatu kesempurnaan. Dalam bahasa agama dikenal istilah Insan Kamil, wujud seorang manusia yang paripurna, yang telah yang mampu meraih kebenaran.
Kebenaran menurut Dr. Afif Muhamad (lihat Islam Mazhab Masa Depan, hal 13) merupakan sesuatu yang objektif. Dia berada di luar berbagai kepentingan (interest), baik pribadi maupun kelompok. Karena itu kebenaran akan selalu identik dengan kebebasan, keterbukaan dan dialog. Kebenaran tidak akan didapatkan jika kebebasan untuk berpendapat dan berdialog telah dipasung dan dikunci mati. Yang diperlukan kemudian untuk mendapatkan kebenaran adalah kejujuran dan keikhlasan untuk mengakui kebenaran lain setelah memperbandingkan nya dengan kebenaran versi diri kita pribadi. Karena cenderung kepada kebenaran adalah salah satu fitrah kemanusiaan, jadi tak mesti ada pemaksaan terhadap kebenaran. Kebenaran tidaklah dibentuk, tapi ditemukan.
Alat-alat yang digunakan untuk menemukan kebenaran
Semua alat pengetahuan yang ada dalam diri manusia sudah memiliki ketentuannya sendiri, panca indera (hissi), akal (aql), dan intuisi (qalb) tidaklah harus dipertentangkan. Masing-masing memiliki tugas-tugasnya. Jika salah satunya mengalami kekurangan maka pengetahuan akan kebenaran akan hilang atau tidak lengkap.
Akal yang tidak logis, Hati yang beku, Indera yang cacat, semuanya adalah penghambat penerimaan kebenaran.
Menggunakan prinsip-prinsip berpikir benar (Prima Principia) akan mampu membantu akal menghilangkan kesalahan dan kerancuan berpikir, sekaligus membantunya tetap sehat dan mampu berpikir optimal. Menjaga hati agar tetap bersih dari segala kotoran penyakit hati akan mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman batin. Sementara panca indra harus digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan dan menyerap pengetahuan dan ilmu yang berguna bagi kehidupan. Kesemuanya usaha ini akan mampu membawa manusia sampai pada kebenaran.
Agama yang Benar
Kalau agama dianggap sebagai suatu pedoman hidup, sudah seharusnyalah setiap umat beragama yang mempercayai keberadaan Tuhan & nabi-nabi mengetahui dengan betul alasan mengapa memilih salah satu dan meyakini kebenaran agama yang dipilihnya tersebut di antara sekian banyak agama yang ada. Hal ini sangat penting, agar keberagamaannya saat
ini tak sekedar suatu keberagamaan yang ikut-ikutan atau karena kebetulan kedua orang tuanya meyakini suatu agama.
Agama atau ajaran yang benar adalah yang memiliki syarat-syarat tertentu; seperti harus objektif (benar), harus masuk akal (rasional) dan tidak berdasarkan takhayul, harus rahmatan lil alamin ( universal), harus manusiawi, harus peka terhadap perubahan jaman dan harus kokoh/kuat secara pemikiran.
Penting bagi kita untuk merenungkan kembali tentang kebenaran ajaran agama yang kita yakini. Hal ini agar kita tidak mudah terjebak pada fanatisme yang membabi buta. Yang pada akhirnya bertentangan dengan sifat agama haq itu sendiri yang anti untuk dipaksakan.
Dalam Islam perbedaan pandangan tentang masalah kebenaran juga terjadi. Orang Islam Arab Saudi bermazhab Wahabi, Orang Indonesia & Mesir bermazhab Syafii, Orang Iran bermazhab Ja’fari. Sebagian orang Islam lain mengatakan tak mau bermazhab (walau sebenarnya mazhab baru – yakni Mazhab Tanpa Mazhab). Namun semuanya tak harus menjadikan kita mengkafirkan dan menyalahkan orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita dalam memahami Islam.
Ada dua kemungkinannya jika kita beranggapan atau menerima pandangan bahwa hanya ada satu shirathal mustaqim (jalan yang lurus/kebenaran), kemungkinan pertama adalah orang lain yang bodoh (belum tahu) atau menuruti hawa nafsunya tidak mau menerima kebenaran versi kita, atau malah sebaliknya, kitalah yang ada dalam posisi tersebut. Permasalahannya adalah maukah kita berani secara jujur dan ikhlas mengakuinya demi mendapatkan apa yang disebut dengan kebenaran atau agama yang benar itu tadi.
Bagaimana Beragama yang Benar?
Sebagai mahluk yang selalu dihadapkan pada pilihan, niscaya manusia akan memilih pilihan yang paling menguntungkan atau menyempurnakan dirinya.
Ketika akal, hati dan seluruh panca indera sudah dioptimalkan fungsinya untuk memilih suatu agama sebagai kebenaran, maka kita dihadapkan pada tiga wajah atau dimensi dari agama itu sendiri.
Pertama, masalah sistem keyakinan atau Aqidah di mana kita tidak boleh bertaklid. Kedua, masalah hukum hukum/ syariah yang akan mengatur kehidupan keberagamaan kita. Ketiga, dimensi akhlaq yang mencerminkan kualitas kepribadian seseorang. Baik akhlak terhadap sesama makhluk maupun terhadap Tuhan.
Seseorang tidaklah dikatakan beragama secara benar kalau hanya percaya saja pada keberadaan Tuhan tanpa mau melaksanakan syariat, atau melaksanakan syariat saja tapi berakhlak buruk. Berakhlak baik saja dan melaksanakan syariat tapi tidak meyakini keberadaan Tuhan. Beragama secara benar berarti memenuhi tuntutan ketiga wajah / dimensi agama tersebut dengan benar, tanpa meninggalkan salah satunya. Jika pengetahuan dan pengamalan setiap orang terhadap ketiga dimensi agama tersebut sudah benar, niscaya dia akan sampai pada apa yang bernama kebenaran.
Wallahu a’lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar